![]() |
Henk Ngantung, aktivis Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA)
yang menjadi Gubernur DKI Jakarta antara 1964-1965.
|
Dalam sejarahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak
hanya pernah dipimpin oleh gubernur yang berasal dari kalangan militer,
politisi maupun birokrat karir. Provinsi yang menjadi pusat pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ternyata juga pernah dipimpin
oleh seorang seniman pelukis. Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat. Sang seniman itu bernama Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau
akrab dipanggil Henk Ngantung.
Pelukis Berbakat
Henk Ngantung lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 1 Maret 1921.
Orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda. Ia mulai melukis sejak
usia 13 tahun, dan mulai memperdalam ilmu melukisnya di tahun 1937
ketika ia menetap di Bandung, Jawa Barat.
Salah satu guru melukisnya adalah pelukis terkenal asal Austria,
Rudolf Wengkart. Kejeniusannya di bidang seni lukis dibuktikannya ketika
menggelar pameran lukisan tunggal di Manado, tahun 1936, atau ketika
ia berumur 15 tahun. Hal ini menunjukkan besarnya bakat seni lukis yang
ada dalam dirinya.
Ia pun mulai berkenalan dengan pelukis-pelukis profesional seperti
Luigi Nobili dan Affandi yang bergabung dalam Persatuan Ahli-Ahli
Gambar Indonesia (PERSAGI), sebuah organisasi seni rupa yang
bertendensi nasionalis.
Menjelang penyerbuan Jepang ke Indonesia, Henk hijrah ke Jakarta dan rutin mengikuti pameran lukis terutama sejak lembaga Bataviasche van Kunstkringen
berdiri. Selain mengikuti pameran bersama kawan-kawannya, Henk juga
sering mengadakan pameran tunggal. Salah satunya adalah pameran tunggal
di hotel Des Indes, Jakarta, tahun 1948. Kelak, lukisan Henk yang
kebanyakan bernuansa realis menarik minat Bung Karno. Sampai-sampai
Presiden pertama RI itupun menjadikan beberapa karya Henk sebagai bagian
dari koleksi lukisannya.
Henk juga dikenal sebagai pelukis yang mengilustrasikan berbagai
peristiwa sejarah penting di Republik ini dalam bentuk lukisan sketsa.
Beberapa peristiwa sejarah tersebut antara lain Perundingan Linggarjati
dan Perundingan Renville. Sebagian lukisan sketsa bersejarah ini
didokumentasikan dalam buku “Sketsa-Sketsa Henk Ngantung dari Masa ke
Masa”, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.
Selepas revolusi kemerdekaan, Henk tetap bergerak di bidang seni
lukis dengan menjadi guru pembimbing pelajaran seni bagi beberapa
mahasiswa tanpa dibayar. Disamping itu, ia juga sering berpartisipasi
pada misi-misi kebudayaan dan pameran lukis di luar negeri.
Henk juga tetap aktif memajukan dunia seni bersama dengan para
seniman lainnya. Ia turut mendirikan ‘Gelanggang’ bersama dengan
Chairil Anwar dan Asrul Sani. Kiprahnya di bidang seni itu juga yang
membuat Henk dipercaya menjadi pengurus Lembaga Persahabatan
Indonesia-Tiongkok pada tahun 1955 hingga 1958.
Selain itu, bakat seni lukis-nya itu juga mengantarkan beliau pada
jabatan Ketua Seksi Dekorasi dalam Panitia Negara Penerimaan
Kepala-Kepala Negara Asing pada tahun 1957. Kiprahnya di bidang seni
itu pula yang membuatnya memperoleh kepercayaan untuk menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Agung mewakili Golongan Karya Seniman pada masa
Demokrasi Terpimpin.
Gubernur Dan Lekra
Pada tahun 1960, Henk dipilih oleh Bung Karno menjadi Wakil
Gubernur (Wagub) mendampingi Gubernur DKI Jakarta ketika itu,
Soemarno. Penunjukan dirinya sebagai Wagub tersebut diprotes oleh para
anggota Dewan Kota. Mereka menganggap Henk tidak layak menduduki
jabatan itu. Namun Bung Karno tetap teguh pada keputusannya, karena ia
menginginkan Jakarta tumbuh sebagai kota seni dan budaya; dan Henk
dianggapnya sesuai dengan kualifikasi itu.
Meski ada sebagian pihak yang memprotesnya, namun pengangkatan Henk
sebagai Wagub DKI didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini
disebabkan ketika itu Henk telah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PKI.
Bahkan ia pun pernah menjabat Wakil Sekjen Lekra.
Menyikapi hal ini, istri Henk, Evelyn Mamesah berujar, “Bergabungnya
pak Henk ke Lekra semata-mata karena kecintaannya terhadap seni.”
Sementara menurut Iwan Simatupang, sastrawan asal Sibolga yang pada
masa itu mengambil sikap anti komunis, menganggap bergabungnya Henk ke
Lekra karena persahabatan Henk dengan Njoto, tokoh PKI yang juga pendiri
Lekra.
Pada masa Henk menjabat sebagai Wagub DKI itulah, ia merancang
monumen dan simbol yang hingga kini menjadi ciri khas kota Jakarta,
seperti Tugu Selamat Datang dan lambang DKI Jakarta.
Khusus untuk pembangunan Tugu Selamat Datang itu sendiri, tak
terlepas dari digelarnya pesta olahraga Asian Games pada tahun 1962.
Ketika itu, pemerintahan Bung Karno ingin ‘memoles’ kota Jakarta agar
menjadi kota yang layak bagi digelarnya sebuah event internasional.
Apalagi, event tersebut juga menjadi show a force bagi Indonesia
sebagai sebuah Negara yang anti neo-kolonialisme dan imperialisme
(nekolim), dengan tindakan kongkret menolak keikutsertaan Taiwan dan
Israel dalam event tersebut karena kedua negara itu dianggap
representasi kekuatan nekolim.
Maka pemerintah pun membangun sebuah hotel kelas internasional
dengan fasilitas yang bagus untuk tamu-tamu negara yang menjadi peserta
Asian Games. Hotel itulah yang kemudian dinamakan Hotel Indonesia
(kini menjadi Hotel Kempinski). Bukan hanya hotel, Bung Karno ingin
pula membangun sebuah monumen tepat di depan hotel tersebut sebagai
sebuah simbol penyambutan bagi para tamu negara
Ternyata, Henk telah memiliki konsep tentang simbol tersebut jauh
sebelum digelarnya event itu. Henk telah memiliki lukisan sketsa
sepasang pemuda-pemudi yang sedang melambaikan tangannya, seperti
sedang menyambut kedatangan tamu. Sehingga ketika Bung Karno meminta
untuk dibangunkan sebuah tugu penyambutan di depan Hotel Indonesia, Henk
segera mengajukan konsep tersebut. Dan Bung Karno pun sepakat.
Maka dibangunlah sebuah tugu berdasarkan konsep karya Henk, dan tugu
yang tetap kokoh berdiri hingga kini tersebut dinamakan Tugu Selamat
Datang. Sebagai tambahan, pematung yang merealisasikan konsep Henk
menjadi sebuah patung di tugu tersebut adalah Edhie Sunarso, seorang
pematung muda berbakat pada masa itu.
Pada tahun 1964, Henk diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta
menggantikan Soemarno yang ditunjuk sebagai Menteri Dalam Negeri oleh
Bung Karno. Namun, masa jabatannya sangat singkat, yakni 1 tahun. Hal
ini dikarenakan meletusnya peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok)
tahun 1965.
Tragedi Gestok 1965 membuat alur hidup Henk dan keluarga berubah
drastis. Kedekatannya dengan Bung Karno serta keanggotaannya di Lekra
membuat Henk digolongkan sebagai pejabat ‘kiri’ yang harus disingkirkan
oleh pihak penguasa militer pasca Gestok.
Seperti halnya beberapa Gubernur dari provinsi lainnya di Indonesia
yang diberhentikan, bahkan ada yang diculik hanya karena kedekatannya
dengan Bung Karno serta didukung PKI, begitu pun nasib Henk. Ia
diberhentikan dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta setelah
peristiwa Gestok. Namun, pemberhentian itu bukanlah akhir dari
penderitaan Henk sekeluarga.
Stigma PKI yang cukup ‘mematikan’ pada era Orde Baru membuat Henk
tidak mendapatkan uang pensiun dan hak-hak sipil selayaknya warga negara
lainnya. Tatkala kesehatannya memburuk dan matanya hampir buta karena
penyakit glaukoma, Henk tetap tidak mudah untuk menjalani pengobatan
karena pihak rumah sakit enggan berurusan dengan Henk yang ‘PKI’.
Tak hanya itu, ketika anak-anak Henk ingin kuliah dan bekerja pun
dipersulit dengan stigma ‘anak PKI’. Hingga akhir hayatnya di tahun
1991, Henk tidak memperoleh penghargaan selayaknya mantan pejabat negara
yang telah berjasa bagi Jakarta dan Republik ini. Begitulah nasib sang
Gubernur-Seniman yang terlupakan.
( sumber )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar