Nama: Benyamin Sueb
Lahir: Jakarta, 5 Maret 1939
Meninggal: Jakarta, 5 September 1995
Isteri: Noni (Menikah tahun 1959)
Pendidikan:
Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan & Ketatalaksanaan, Jakarta (1960)
Akademi Bank Jakarta, Jakarta (tidak tamat)
SMA Taman Madya (Taman Siswa), Jakarta (1958)
SMPN Menteng, Jakarta (1955)
Riwayat Pekerjaan:
Aktor, penyanyi, penghibur
Kondektur PPD (1959)
Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960)
Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1968)
Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969)
Penghargaan:
1973, meraih piala Citra dalam film Intan Berduri (Turino Djunaidi, 1972) bersama Rima
Melati.
1975, meraih piala Citra dalam film Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975).
Ia
menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya
karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke
mancanegara. Celetukan "muke lu jauh" atau "kingkong lu lawan" pasti
mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb, seniman Betawi serba bisa
yang sudah menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta
menyabet dua Piala Citra ini.
Sejak
kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan
bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua
tahun. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu, si kocak Ben
sejak umur tiga tahun diijinkan ngamen keliling kampung dan hasilnya
buat biaya sekolah kakak-kakaknya.
Benyamin sering mengamen ke
tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur sambil bergoyang badan.
Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu memberikannya recehan 5
sen dan sepotong kue sebagai "imbalan".
Penampilan Benyamin kecil
memang sudah beda, sifatnya yang jahil namun humoris membuat Benyamin
disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939
ini sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak.
Bakat seninya tak
lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup
klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat -
menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater
rakyat di zaman kolonial Belanda. Sewaktu kecil, bersama 7
kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng.
Benyamin
bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas.
Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi,
keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan "alat musik" itu mereka sering
membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu.
Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.
Benyamin
memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago
sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar dan
disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben
sering ditraktir teman-teman sekolahnya.
SD kelas 5-6 pindah ke
SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini.
Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia
tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan kelas, ia
mengancam, "Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!" Lulus SMP ia
melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di
Akademi Bank Jakarta, tapi tidak tamat.
Benyamin mengaku tidak
punya cita-cita yang pasti. "Tergantung kondisi," kata penyanyi dan
pemain film yang suka membanyol ini. Benyamin pernah mencoba mendaftar
untuk jadi pilot, tetapi urung gara-gara dilarang ibunya.
Ia akhirnya
menjadi pedagang roti dorong. Pada 1959, ia ditawari bekerja di
perusahaan bis PPD, langsung diterima . "Tidak ada pilihan lain,"
katanya. Pangkatnya cuma kenek, dengan trayek Lapangan Banteng - Pasar
Rumput. Itu pun tidak lama. "Habis, gaji tetap belum terima, dapat sopir
ngajarin korupsi melulu," tuturnya. Korupsi yang dimaksud ialah, ongkos
penumpang ditarik, tetapi karcis tidak diberikan.
Ia sendiri
mula-mula takut korupsi, tetapi sang sopir memaksa. Sialnya, tertangkap
basah ketika ada razia. Benyamin tidak berani lagi muncul ke pool bis
PPD. Kabur, daripada diusut.
Baru setelah menikah dengan Noni
pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli 1979, tetapi rujuk kembali pada tahun
itu juga), Benyamin kembali menekuni musik. Bersama teman-teman
sekampung di Kemayoran, mereka membentuk Melodyan Boy. Benyamin nyanyi
sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini pula, dua lagu Benyamin
terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop.
Sebenarnya
selain menekuni dunia seni, Benyamin juga sempat menimba ilmu dan
bekerja di lahan yang "serius" diantaranya mengikuti Kursus Lembaga
Pembinaan Perusahaan dan Pembinaan Ketatalaksanaan (1960), Latihan Dasar
Kemiliteran Kodam V Jaya (1960), Kursus Administrasi Negara (1964),
bekerja di Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960), Bagian Musik Kodam V
Jaya (1957-1969), dan Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya
(1960-1969).
Dari berkesenian, hidup Benyamin (dan keluarganya)
berbalik tak lagi getir. Debutnya Si Jampang, mengalir setelah itu
Kompor Mleduk belakangan a menjadi figur yang melegenda di kalangan
masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi
dikenal luas hingga ke mancanegara. Celetukan "muke lu jauh" atau
"kingkong lu lawan" pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb,
seniman Betawi serba bisa yang sudah menghasilkan kurang lebih 75 album
musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra ini.
Sejak
kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan
bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua
tahun. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu, si kocak Ben
sejak umur tiga tahun diijinkan ngamen keliling kampung dan hasilnya
buat biaya sekolah kakak-kakaknya.
Benyamin sering mengamen ke
tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur sambil bergoyang badan.
Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu memberikannya recehan 5
sen dan sepotong kue sebagai "imbalan".
Penampilan Benyamin kecil
memang sudah beda, sifatnya yang jahil namun humoris membuat Benyamin
disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939
ini sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak.
Bakat seninya tak
lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup
klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat -
menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater
rakyat di zaman kolonial Belanda. Sewaktu kecil, bersama 7
kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng.
Benyamin
bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas.
Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi,
keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan "alat musik" itu mereka sering
membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu.
Kelompok musik kaleng
rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal
kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani
(kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya
(keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh),
tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.
Benyamin
memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago
sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar dan
disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben
sering ditraktir teman-teman sekolahnya.
SD kelas 5-6 pindah ke
SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini.
Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia
tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan kelas, ia
mengancam, "Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!" Lulus SMP ia
melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di
Akademi Bank Jakarta, tapi tidak tamat.
Benyamin mengaku tidak
punya cita-cita yang pasti. "Tergantung kondisi," kata penyanyi dan
pemain film yang suka membanyol ini. Benyamin pernah mencoba mendaftar
untuk jadi pilot, tetapi urung gara-gara dilarang ibunya.
Ia akhirnya
menjadi pedagang roti dorong. Pada 1959, ia ditawari bekerja di
perusahaan bis PPD, langsung diterima . "Tidak ada pilihan lain,"
katanya. Pangkatnya cuma kenek, dengan trayek Lapangan Banteng - Pasar
Rumput. Itu pun tidak lama. "Habis, gaji tetap belum terima, dapat sopir
ngajarin korupsi melulu," tuturnya. Korupsi yang dimaksud ialah, ongkos
penumpang ditarik, tetapi karcis tidak diberikan.
Ia sendiri
mula-mula takut korupsi, tetapi sang sopir memaksa. Sialnya, tertangkap
basah ketika ada razia. Benyamin tidak berani lagi muncul ke pool bis
PPD. Kabur, daripada diusut.
Baru setelah menikah dengan Noni
pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli 1979, tetapi rujuk kembali pada tahun
itu juga), Benyamin kembali menekuni musik. Bersama teman-teman
sekampung di Kemayoran, mereka membentuk Melodyan Boy. Benyamin nyanyi
sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini pula, dua lagu Benyamin
terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop.
Sebenarnya
selain menekuni dunia seni, Benyamin juga sempat menimba ilmu dan
bekerja di lahan yang "serius" diantaranya mengikuti Kursus Lembaga
Pembinaan Perusahaan dan Pembinaan Ketatalaksanaan (1960), Latihan Dasar
Kemiliteran Kodam V Jaya (1960), Kursus Administrasi Negara (1964),
bekerja di Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960), Bagian Musik Kodam V
Jaya (1957-1969), dan Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya
(1960-1969).
Dari berkesenian, hidup Benyamin
(dan keluarganya) berbalik tak lagi getir. Debutnya Si Jampang,
mengalir setelah itu Kompor Mleduk belakangan dinyanyikan ulang oleh
Harapan Jaya, Begini Begitu (duet Ida Royani), Nonton Bioskop (dibawakan
Bing Slamet) dan puluhan lagu karya Benyamin yang lain.
Tidak
puas dengan hanya menyanyi, Benyamin lalu main film. Diawali Honey Money
and Jakarta Fair (1970) lalu mengucur deras puluhan film lainnya.
Seniman yang suka "mengomel" bila melawak ini menjadi salah satu pemain
yang namanya sering digunakan menjadi judul film. Selain Benyamin
tercatat diantaranya Bing Slamet, Ateng, dan Bagio.
Judulnya,
antara lain Benyamin Biang Kerok (Nawi Ismail, 1972), Benyamin Brengsek
(Nawi Ismail, 1973), Benyamin Jatuh Cinta (Syamsul Fuad, 1976), Benyamin
Raja Lenong (Syamsul Fuad, 1975), Benyamin Si Abunawas (Fritz Schadt,
1974), Benyamin Spion 025 (Tjut Jalil, 1974), Traktor Benyamin (Lilik
Sudjio, 1975), Jimat Benyamin (Bay Isbahi, 1973), dan Benyamin Tukang
Ngibul (Nawi Ismail,1975).
Dia juga main di film seperti Ratu
Amplop (Nawi Ismail, 1974), Cukong Blo"on (Hardy, Chaidir Djafar,
1973),Tarsan Kota (Lilik Sudjio, 1974), Samson Betawi (Nawi Ismail,
1975), Tiga Janggo (Nawi Ismail, 1976), Tarsan Pensiunan (Lilik Sudjio,
1976), Zorro Kemayoran (Lilik Sudjoi, 1976). Sementara Intan Berduri
(Turino Djunaidi, 1972) membuat dirinya, dan Rima Melati, meraih Piala
Citra 1973.
Benyamin juga membuat perusahaan sendiri bernama
Jiung Film - diantara produksinya Benyamin Koboi Ngungsi (Nawi Ismail,
1975) - bahkan menyutradarai Musuh Bebuyutan (1974) dan Hippies Lokal
(1976). Sayang, usahanya mengalami kemunduran, dan PT Jiung Film
dibekukan tahun 1979.
Benyamin tidak selalu menjadi bintang utama
di setiap filmnya. Seperti layaknya semua orang, ada proses dimana
Benyamin "hanya" menjadi figuran atau paling mentok menjadi aktor
pembantu. Dalam hal ini, paling tidak ada dua nama yang patut disebut,
yaitu Bing Slamet dan Sjuman Djaya. Walau sudah merintis karir sebagai
"bintang film" lewat film perdananya, Banteng Betawi (Nawi Ismail,1971)
yang merupakan lanjutan dari Si Pitung (Nawi Ismail, 1970), tetapi kedua
nama besar itulah yang mempertajam kemampuan akting Benyamin.
Dalam
"berguru" dengan Bing Slamet, Benyamin tidak saja bekerja sama dalam
hal musik - seperti dalam lagu Nonton Bioskop dan Brang Breng Brong.
Tapi dalam hal film pun dilakoninya. Terlihat dengan jelas, di film
Ambisi (Nya Abbas Acup, 1973) -sebuah "komidi musikal" yang diotaki oleh
Bing Slamet - Benyamin menjadi teman sang aktor utama, Bing Slamet
menjadi penyiar Undur-Undur Broadcasting.
Di film ini, sudah
terlihat gaya "asal goblek" Benyamin yang penuh improvisasi dan
memancing tawa. Di sini, dia berduet dengan Bing Slamet lewat lagu
Tukang Sayur. Tetapi, sebenarnya, setahun sebelumnya, Benyamin juga
diajak ikutan main Bing Slamet Setan Djalanan (Hasmanan, 1972). Karena
itulah, saat sahabatnya itu wafat pada 17 Desember 1974, Benyamin tak
dapat menahan tangisnya.
Dengan Sjuman Djaya, Benyamin diajak
main Si Doel Anak Betawi (Sjuman Djaya, 1973). Dirinya menjadi ayah si
Doel, yang diperankan oleh Rano Karno kecil. Perannya serius tapi,
seperti stereotipe orang Betawi, kocak dan tetap "asal goblek".
Adegan
terdasyat film ini adalah saat pertemuan antara abang-adik yang
diperankan oleh Benyamin dan Sjuman Djaya sendiri, terlihat ketegangan
dan kepiawaian akting keduanya yang mampu mengaduk-aduk emosi penonton.
Talenta itu direkam oleh ayah dari Djenar Maesa Ayu dan Aksan Syuman,
dan dua tahun kemudian Benyamin pun main film sekuelnya, Si Doel Anak
Modern (Sjuman Djaya, 1975). Kali ini Benyamin menjadi bintang utamanya,
dan meraih Piala Citra.
Yang menarik, lebih dari dua puluh tahun
kemudian Rano Karno membuat versi sinetronnya. Castingnya nyaris sama:
Rano sebagai Si Doel, Benyamin sebagai ayahnya - selain theme song-nya
dan settingnya yang hanya diubah sedikit saja. Lagi-lagi Benyamin
menjadi aktor pendukung, tapi kehadirannya sungguh bermakna.
Sebenarnya
ada satu lagi film yang dirinya bukan aktor utama, tetapi sangat
dominan bahkan namanya dijadikan subjudul atawa tagline: Benyamin vs
Drakula. Film itu adalah Drakula Mantu, karya si Raja Komedi Nyak Abbas
Akub tahun 1974. Film bergenre komedi horor itu "memaksa" Benyamin
beradu akting dengan Tan Tjeng Bok, si aktor tiga zaman. Begitulah,
meski beberapa kali pernah tidak "menjabat" sebagai aktor utama, tetapi
kehadirannya mencuri perhatian penonton saat itu.
Penyanyi Beneran
Tahun
1992, saat sibuk main sinetron dan film televisi (Mat Beken dan Si Doel
Anak Sekolahan) Benyamin mengutarakan keinginannya pada Harry Sabar,
"Gue mau dong rekaman kayak penyanyi beneran."
Maka, bersama
Harry Sabar (alm), Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya, jadilah
band Gambang Kromong Al-Haj dengan album Biang Kerok. Lagu seperti Biang
Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut. Inilah band
dan album terakhir Benyamin.
"Di lagu itu, entah kenapa, Ben menyanyi seperti berdoa, khusuk. Coba saja
dengar Ampunan," jelas Harry waktu itu, sang music director. "Mungkin sudah tahu kalau hidupnya tinggal sebentar," imbuhnya. Memang betul, setelah album itu keluar, Benyamin sakit keras, dan rencana promosi ditunda dan tak pernah lagi terwujud kecuali beberapa pentas.
Di
album ini, Benyamin menyanyi dengan "serius". Tetapi, lagi-lagi,
seserius apa pun, tetap saja orang-orang yang terlibat tertawa
terpingkal-pingkal saat Benyamin rekaman lagu I"m a Teacher dan Kisah
Kucing Tua dengan penuh improvisasi. Sementara lagu Dingin Dingin
Dimandiin dan Biang Kerok bernuansa cadas. Dan Ampunanmu kental dengan
progressive rock, diantaranya nuansa Watcher of the Sky dari Genesis era
Peter Gabriel.
Yang menarik, masih menurut Harry, saat Benyamin
menonton Earth, Wind, and Fire di Amerika - saat menjenguk anaknya yang
kuliah di sana - dia langsung komentar, "Nyanyi yang kayak gitu, asyik
kali ye?", dan nuansa itu pun hadir di beberapa lagu di album itu, salah
satunya dengan sedikit sentuhan Lady Madonna dari The Beatles.
Benyamin
yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia seusai
main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung.
Ia bukan lagi sekadar sebagai tokoh masyarakat Betawi, melainkan legenda
seniman terbesar yang pernah ada. Karena itu banyak orang merasa
kehilangan saat dirinya dipanggil Yang Maha Kuasa.
Dari pelawak
yang pernah tampil dalam variety show Benjamin Show sambil tour dari
kota ke kota sampai Malaysia dan Singapura ini muncul banyak idiom atau
celetukan yang sampai kini masih melekat di telinga masyarakat,
khususnya warga Jakarta. Sebut saja, aje gile, ma"di kepe, atau ma"di
rodok, yang semuanya lahir dari lidah Benyamin.
Benyamin, Enggak "Ade Duenye"
Meraih
Piala Citra sebagai Pemeran Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia
1973 lewat film Intan Berduri dan 1974 dengan Si Doel Anak Modern tidak
menepis popularitas Benyamin Suaeb sebagai penyanyi. Lagu-lagunya yang
menggunakan bahasa khas Betawi juga tidak menjadi penghalang bagi
pendengar kaset atau penonton pertunjukannya untuk menikmati
keserbabisaan Benyamin di atas panggung.
Selain digandrungi di negerinya sendiri, Benyamin juga sangat dikenal di Malaysia. Bahkan, dia sempat manggung di Moskwa, Rusia.
Jauh
sebelum Iwan Fals melancarkan protes lewat Bento dan Bongkar tahun
1990, Benyamin sudah melakukan hal yang sama dengan lagu Digusur 20
tahun sebelumnya. Hanya saja, Benyamin menggunakan bahasa khas Betawi
yang sarat humor sehingga Digusur justru menimbulkan senyum Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin.
Sementara lagunya yang mengkritik
pemerintah, berjudul Pungli, memperoleh penghargaan dari Kopkamtib. Lagu
itu dianggap menunjang program Operasi Tertib yang sedang digalakkan
pemerintah tahun 1977.
Orang pertama yang membuat Benyamin berani
menjadi penyanyi adalah Bing Slamet. Setelah menyerahkan lagu
ciptaannya, Nonton Bioskop, untuk direkam Bing Slamet, Benyamin justru
disarankan membawakan sendiri lagu itu.
Lagu yang berirama pop
itu sempat populer lewat suara Bing Slamet. Tak heran jika air mata
Benyamin mengalir deras dan menangis sesenggukan ketika Bing Slamet
tutup usia pada 17 Desember 1974. Anak Kemayoran yang lahir sebagai
Benyamin Suaeb dan namanya diabadikan pada sebuah jalan di tempat
kelahirannya itu mulai menjadi penyanyi pop sebelum dikenal sebagai
penyanyi khas lagu Betawi dan bintang film. Ia mendirikan grup Melodi
Ria tahun 1957 dan bermain bersama pemusik jazz Jack Lesmana dan Bill
Saragih, serta si penyanyi Patah Hati, Rachmat Kartolo.
Melodi
Ria beranggotakan Rachman A (gitar melodi), Heri Sukarjo (bas betot),
Achmad (klarinet), Imam Kartolo (piano, saksofon), Suparlan (gitar),
Saidi S (bongo), Eli Srikudus (penyanyi), Rachmat Kartolo (penyanyi),
dan Benyamin (penyanyi). Bersama grup ini, Benyamin sempat merekam
sejumlah lagu, antara lain Kisah Cinta, Panon Hideung, Nonton Bioskop,
dan Si Neneng.
Naga Mustika
Kiprahnya dalam musik
pop membawa Benyamin ke klub-klub malam. Saat itu dia menyanyikan
lagu-lagu Barat seperti Unchained Melody, Blue Moon, dan El Mondo.
Tetapi, apesnya, sebagaimana Koes Bersaudara yang dijebloskan ke penjara
karena membawakan lagu-lagu The Beatles, Benyamin juga diganyang dan
dilarang manggung di klub-klub malam.
Larangan membawakan lagu
ngak-ngik-ngok atau lagu Barat itu dikeluarkan oleh Presiden Soekarno
tahun 1965. Tetapi, Benyamin ternyata tidak patah arang. Dia memutar
otak dan sebagai jalan keluarnya ia menyanyikan lagu-lagu khas Betawi
dengan iringan musik gambang kromong.
"Kalau tidak ada larangan Bung
Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu
Betawi," kata penyanyi kelahiran Jakarta, 5 Maret 1939, ini kepada
Kompas tahun 1994, satu tahun sebelum menutup usianya setelah kena
serangan jantung ketika sedang bermain olahraga kesenangannya, sepak
bola. Dia dirawat selama sembilan hari di Rumah Sakit Harapan Kita
sebelum meninggal 5 September 1995.
Untuk melaksanakan niatnya
membawakan lagu-lagu dengan ciri khas Betawi, Benyamin bergabung dengan
grup gambang kromong Naga Mustika pimpinan Suryahanda. Keberhasilan
Benyamin tidak terlepas dari musik yang ditata "jago-jago" gambang
kromong waktu itu, seperti Budiman BJ, Darmanto, dan Asep S.
Sebagai
anggota grup Naga Mustika, Asep S juga menciptakan sejumlah lagu untuk
dinyanyikan duet Benyamin dan Ida Royani, seperti Tukang Loak,
Bertengkar, Si Bontot, Luntang- Lantung, Muara Angke, Si Jabrik, Nasib,
Pelayan Toko, Si Denok, Petik Kembang, Layar Tancep, Pacar Biduan,
Pulang Kerje, Tuak Manis, Tukang Grobak, Gara-Gara Anak, dan Pacar
Biduan.
Duet Benyamin dan Ida Royani dengan lagu-lagu gambang
kromongnya bisa dikatakan paling populer pada awal tahun 1970-an.
Diperkirakan, mereka menyanyikan sekitar 150 lagu yang diciptakan
Benyamin maupun pencipta lagu lainnya seperti Joko S atau abang Benyamin
sendiri, Saidi Suaeb.
"Saya bertemu pertama kali dengan Benyamin
di Studio Dimita. Pemilik studio itu, Oom Dick Tamimi, menawarkan saya
membawakan lagu ciptaan seorang yang belum saya kenal. Ketika
diperkenalkan, saya bertemu seorang pemuda yang dekil dan bersandal
jepit. Dia senyum-senyum kepada saya. Lagunya yang berirama pop, saya
tolak. Soalnya waktu itu saya dikenal sebagai penyanyi yang fensi
(trendi) dengan celana hot pants dan sepatu lars," kenang Ida Royani
yang sekarang berusia 50 tahun ketika dihubungi awal Februari 2004.
Akan
tetapi, entah mengapa, ketika Dick Tamimi kemudian menawarkan berduet
dengan pemuda dekil itu pada tahun 1970, Ida bersedia. Padahal,
penggemarnya banyak yang protes dan merasa Ida yang populer dengan
lagu-lagu popnya dianggap tidak cocok berduet dengan Benyamin. Namun,
Ida jalan terus dan sampai tahun 1990, atau 20 tahun kemudian, masih
berduet dengan Benyamin dalam rekaman maupun tampil di atas panggung.
Lagu-lagu
Benyamin dan Ida Royani adalah gambaran nyata kehidupan masyarakat
Betawi. Begitu melihat judulnya saja, langsung bisa dirasakan
kebetawiannya. Ada Ngidam Lagi, Ngupi, Nonton Cokek, Ondel-Ondel, Onta
Punya Cerita, Pendaringan, Penganten Sunat, Kompor Meleduk, Roti
Gambang, Layar Tancep, atau Pulang Kerje.
"Meskipun beberapa di antara lagu-lagunya berbau Sunda, Benyamin membuatnya menjadi milik Betawi. Misalnya, Ayun Ambing, lagu yang meninabobokan anak," ujar seniman Betawi, SM Ardan, sambil menambahkan bahwa lagu-lagu Benyamin juga berlirik kocak dengan gaya Betawi.
Coba
lihat lirik Nonton Bioskop: Jalan kaki di gang gelap/Pulang-pulang
nginjek gituan (kotoran manusia). Dan juga sangat nakal sehingga sering
bagaikan "pisau bermata dua" atau berkonotasi porno: Gimane lobangnya
aje/Kecil atawe gede (lagu Tukang Solder).
Atau dalam lagu
Perkutut. Liriknya begini: Burung gue pegangin (Benyamin)/Ogah
ah/Mendingan dilepasin (Ida Royani)/Ntar die menclok di wuwungan laen
(Benyamin)/Pengen tahu die menclok sembarangan/Gue jepret (Ida Royani).
Sampai
tahun 1974 Benyamin menghasilkan sekitar 20 album yang berisikan
lagu-lagu yang dia nyanyikan sendiri maupun berduet dengan penyanyi
lain. Nyebur-nya penyanyi yang memperoleh penghargaan dari Yayasan Husni
Thamrin pada tahun 1974 untuk pengabdiannya dalam bidang musik ini
bersama musik gambang kromong ke industri musik Indonesia sedikit banyak
juga terpengaruh apa yang dilakukan Vivi Sumanti dan Lilies Suryani,
yang sudah terlebih dahulu menyanyi dengan iringan musik yang biasanya
mengiringi pertunjukan lenong ini.
"Kelebihan Benyamin adalah lagak dan gayanya, selain lirik lagu. Kami sempat
manggung ke seluruh Indonesia. Di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Irian, kebanyakan penonton tidak mengerti bahasa Betawi. Tetapi, mereka tertawa terpingkal-pingkal melihat Benyamin di atas panggung," kenang Ida Royani yang menikah dengan pemusik Keenan Nasution tahun 1979.
Mewakili zamannya
Menelaah
lagu-lagu Benyamin, kita juga bisa langsung membaca keadaan pada waktu
lagu-lagu itu dibawakan. Hostess (istilah untuk wanita-wanita muda yang
bekerja di kelab malam) menggambarkan pengalaman Benyamin ketika malang
melintang di kehidupan malam Jakarta. Demikian juga steambath yang
merekam praktik prostitusi terselubung yang marak di kota-kota besar
pada tahun 1970-an.
Bayi Tabung adalah rekaman peristiwa yang
menjadi topik sejarah saat lagu itu diluncurkan. Sementara kata taisen,
yang kemudian di kalangan muda-mudi artinya menjadi pacar, berasal dari
judi hwahwe yang marak di Jakarta akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Judi
itu menjanjikan 36 angka keberuntungan dengan simbol binatang pada
setiap angkanya. Angka 1 (ikan bandeng), misalnya, taisen-nya angka 5
(singa), angka 30 (monyet) taisen-nya angka 23 (ikan mas koki), dan
seterusnya. "Kalau adek jadi ikan mas koki, abang yang jadi taisennya...
monyet dong," kata Benyamin dalam salah satu lirik lagunya. Walaupun
judul lagu Benyamin sering terkesan "sembarangan", seperti Brang Breng
Brong (yang diciptakannya bersama Bing Slamet), Cong Cong Balicong,
Kompal Kampil, Petangtang Petingting, atau Abakikik Abakikuk, masyarakat
yang menerima kebiasaannya itu justru bertambah luas. Kebiasaan ini
terus terlihat dalam lagu yang lain, Bom Pim Pah (duetnya bersama Rita
Sahara), atau duetnya bersama Euis Darliah, Ngaca, atau yang
dinyanyikannya sendiri, Ngaco atau Mumpung.
Bukan hanya judul
dihasilkannya seketika, lirik lagunya juga muncul spontan. Judul dan
lirik lagu Begini Begitu idenya muncul begitu saja di studio rekaman.
"Kalau saya kehabisan ide, biasanya saya berteriak atau ngedumel. Eh,
enggak tahunya, teriak atau dumelan saya itu menjadi kata yang pas untuk
lagu saya," kata Benyamin pada suatu ketika.
"Itu yang namanya senggakan. Biasanya yang demikian itu memang muncul secara spontan, sebagaimana dialog-dialog pemain lenong, muncul begitu saja di atas panggung," komentar SM Ardan, yang sekarang sedang menyusun biografi aktor Sukarno M Noor.
Di
samping pop dan gambang kromong, Benyamin juga merambah jenis musik
yang sedang mewabah pada tahun 1970-an, seperti blues, rock, hustle, dan
disko. Walau demikian, Benyamin tidak lupa pada keroncong dan seriosa,
sebagaimana Blues Kejepit Pintu, Seriosa, Kroncong Kompeni, Stambul Nona
Manis, atau Stambul Kelapa Puan.
Keserbabisaan Benyamin yang
lain ditunjukannya dalam lagu Disangka Nyolong atau Dingin Dingin
Dimandiin, yang dibawakannya dengan dengan gaya menangis, tetapi tetap
saja menimbulkan tawa pendengarnya.
Benyamin juga tidak lupa
menyanyi tanpa canda seperti Abang Husni Thamrin atau Mengapa Harus
Jumpa. Keseriusannya menyanyi diperlihatkan ketika dia membentuk grup Al
Hadj pada tahun 1992, yang terdiri atas pemusik rock: Harry Sabar,
Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya.
Benyamin menyanyikan
lagu-lagu berirama rock, blues, dan metal: Biang Kerok, Maaf Kutak
Datang, Ampunan, Mojok, I"m A Teacher, Kisah Kucing Tua, Balada Dalam
Penjara, Dingin Dingin Dimandiin, Seliweran, dan Tragedi Cinta. "Waktu
itu dia mengatakan ingin menyanyi lagu rock sebagaimana Achmad Albar
dari God Bless. Maka kami membuat lagu dan musik yang sesuai dengan
karakternya. Dia bernyanyi sangat luar biasa. Album bersama Al Hadj
barangkali merupakan rekamannya yang terakhir," ujar Harry Sabar yang
menciptakan Biang Kerok.
Selain merekam sekitar 300 lagu (berduet
dan menyanyi sendiri dalam periode 1964-1992), Benyamin juga
menghasilkan sekitar 53 film dari tahun 1970 hingga 1992. Ini belum
termasuk sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994), dengan celetukan khas
dia, "tukang insinyur", yang muncul di sini. Lalu Mat Beken dan Bergaya
FM (1995). Untuk mengenang Benyamin S, Titiek Puspa menciptakan lagu
dengan judul Ben yang dibawakannya sendiri ketika diadakan acara
"Mengenang H Benyamin S" di Istora Senayan, Jakarta, 22 Oktober 1995.
Liriknya antara lain sebagai berikut:
"..
Dia Jakarta asli Tetapi dicinta se-Nusantara Dia yang rendah hati Hidup
rukun tanpa perkara Jiwa raga seni semata Taatnya pada agama
Terpanggil-Mu saat jayanya Oh Ben kau telah pergi Pergi takkan kembali
Bangga kagum dan cinta Engkau satu tiada duanya. Benyamin memang enggak
ade duenye ..." Liriknya antara lain sebagai berikut:
(SUMBER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar