29 April 2015

Pencitraan Adalah Panglima !

Setelah dipentaskan pada tahun 2012 lalu, Teater Pohon mementaskan ulang lakon Ruang Rias karya Pedje. Seperti tahun 2012, lakon ini akan dimainkan oleh tiga waria, yang sehari-hari bekerja sebagai make up artist. Lakon ini akan dipanggungkan pada Selasa malam (5/5) pukul 20.00 WIB di Auditorium Gelanggang Remaja Jakarta Barat, Jalan Dokter Nurdin IV Nomor 1, Grogol. Lalu, akan dipentaskan lagi pada Sabtu malam (9/5) pukul 20.00 WIB di Galeri Ruang Rupa, Jalan Tebet Timur Dalam Raya Nomor 6, Jakarta Selatan.

Potser :TeaterPohon
Ruang Rias merupakan lakon pendek yang menggambarkan bagaimana mitos-mitos kecantikan dan keindahan diproduksi, dikonstruksi, dan dieksploitasi sehingga menimbulkan korban. Ironisnya, posisi sebagai korban itu kerap tidak disadari atau malah dinikmati dengan sukacita oleh korbannya,” kata Ch Cheme Ardi, yang bertindak sebagai sutradara dalam pementasan ini.

Cara yang digunakan untuk mmproduksi, mengonstruksi, dan mengeksploitasi mitos-mitos kecantikan itu, tambah Cheme, antara lain dengan penciptaan simulakra-simulakra, yakni yang secara garis besar dapat dikatakan sebagai suatu situasi dan kondisi ketika perbedaan yang nyata dan khayali sangat tipis atau sulit dikenali lagi. “Itu sebenarnya suatu konsep yang dipopulerkan kembali oleh filsuf dan sosiolog post-modern dari Prancis, Jean Baudrillard,” tuturnya.

Dikisahkan, Pandan, seorang waria yang mengalami kompleks rendah diri (inferioritas) memiliki keinginan untuk bisa tampil menawan. Namun, keinginan itu hanya berani ia wujudkan dalam angan-angan, bukan dalam kehidupan nyata.

Keinginan Pandan tersebut diketahui Devi Bernadette, seorang make up artist. Maka, Bernadette pun menggunakan berbagai cara agar Pandan mau memberanikan diri mewujudkan keinginannya untuk menjadi cantik. Karena, menurut Bernadette, tampil cantik  dan menawan adalah suatu keniscayaan agar orang bisa masuk dalam lingkaran pergaulan yang ia anggap terhormat, suatu lingkaran pergaulan yang terdiri dari orang-orang yang sangat kaya, yang menentukan kriteria cantik dan tidak cantiknya seseorang.

“Kita hidup di zaman kemasan, zaman kosmetik. Orang lebih senang memandang kulit daripada menelaah isi. Pencitraan adalah panglima! Dunia bisa dengan mudah takluk kalau kita tampil penuh pesona. P-e-s-o-n-a…, yang memancar dari wajah putih, mulus, gerai rambut yang indah, kulit yang bercahaya, pakaian yang elok, eksklusif, dan tentunya mahal…,” kata Devi kepada Pandan.

Pada awalnya, Pandan memang menolak mengikuti kemauan Devi Bernadette. Namun, dengan berbagai tekanan dan iming-iming, akhirnya Pandan pasrah saja dan bahkan kemudian menikmatinya. Apalagi, Devi Bernadette berhasil mengubah penampilan Pandan menjadi seperti yang diangankan Pandan.

Sayangnya, di akhir kisah terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka dan tak diharapkan Devi Bernadette. Peristiwa ini bisa dilihat sebagai metafora hilangnya nilai-nilai kemanusiaan akibat eksploitasi yang dilakukan sesama manusia dan juga sebagai gambaran atas merosotnya derajat manusia dari makhluk mulia menjadi semacam barang atau benda, akibat terjebak dalam simulakra.

Foto : Ilustrasi/TeaterPohon
Dalam manisfetonya, Teater Pohon yang didirikan di Jakarta pada 1 Mei 2011 memang meniatkan diri sebagai kelompok teater yang akan menyuarakan penderitaan manusia, terutama dari kalangan miskin dan kaum tertindas, yang tak mampu bersuara. “Teater Pohon sejak awal mengirarkan diri untuk tidak terikat pada satu bentuk/gaya pemanggungan tertentu dalam pertunjukan-pertunjukan teaternya. Meski tetap memperhatikan pertimbangan artistik, yang paling penting dalam pertunjukan-pertunjukan Teater Pohon adalah menyuarakan penderitaan manusia, terutama dari kalangan miskin dan kaum tertindas, yang tak mampu bersuara, baik karena keterbatasan akses maupun karena dibungkam atau terbungkam oleh kekuatan dominan dalam berbagai aspek kehidupan,” demikian petikan manifesto Teater Pohon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar