Setelah dipentaskan pada tahun 2012 lalu, Teater Pohon mementaskan ulang lakon Ruang Rias karya Pedje. Seperti tahun 2012, lakon ini akan dimainkan oleh tiga waria, yang sehari-hari bekerja sebagai make up artist.
Lakon ini akan dipanggungkan pada Selasa malam (5/5) pukul 20.00 WIB di
Auditorium Gelanggang Remaja Jakarta Barat, Jalan Dokter Nurdin IV
Nomor 1, Grogol. Lalu, akan dipentaskan lagi pada Sabtu malam (9/5)
pukul 20.00 WIB di Galeri Ruang Rupa, Jalan Tebet Timur Dalam Raya Nomor
6, Jakarta Selatan.
![]() |
Potser :TeaterPohon |
“Ruang Rias merupakan lakon pendek yang menggambarkan
bagaimana mitos-mitos kecantikan dan keindahan diproduksi, dikonstruksi,
dan dieksploitasi sehingga menimbulkan korban. Ironisnya, posisi
sebagai korban itu kerap tidak disadari atau malah dinikmati dengan
sukacita oleh korbannya,” kata Ch Cheme Ardi, yang bertindak sebagai
sutradara dalam pementasan ini.
Cara
yang digunakan untuk mmproduksi, mengonstruksi, dan mengeksploitasi
mitos-mitos kecantikan itu, tambah Cheme, antara lain dengan penciptaan
simulakra-simulakra, yakni yang secara garis besar dapat dikatakan
sebagai suatu situasi dan kondisi ketika perbedaan yang nyata dan
khayali sangat tipis atau sulit dikenali lagi. “Itu sebenarnya suatu
konsep yang dipopulerkan kembali oleh filsuf dan sosiolog post-modern dari Prancis, Jean Baudrillard,” tuturnya.
Dikisahkan, Pandan, seorang waria yang mengalami kompleks rendah diri
(inferioritas) memiliki keinginan untuk bisa tampil menawan. Namun,
keinginan itu hanya berani ia wujudkan dalam angan-angan, bukan dalam
kehidupan nyata.
Keinginan Pandan tersebut diketahui Devi Bernadette, seorang make up artist.
Maka, Bernadette pun menggunakan berbagai cara agar Pandan mau
memberanikan diri mewujudkan keinginannya untuk menjadi cantik. Karena,
menurut Bernadette, tampil cantik dan menawan adalah suatu keniscayaan
agar orang bisa masuk dalam lingkaran pergaulan yang ia anggap
terhormat, suatu lingkaran pergaulan yang terdiri dari orang-orang yang
sangat kaya, yang menentukan kriteria cantik dan tidak cantiknya
seseorang.
“Kita hidup di zaman kemasan, zaman kosmetik. Orang lebih senang
memandang kulit daripada menelaah isi. Pencitraan adalah panglima! Dunia
bisa dengan mudah takluk kalau kita tampil penuh pesona. P-e-s-o-n-a…,
yang memancar dari wajah putih, mulus, gerai rambut yang indah, kulit
yang bercahaya, pakaian yang elok, eksklusif, dan tentunya mahal…,” kata
Devi kepada Pandan.
Pada awalnya, Pandan memang menolak mengikuti kemauan Devi
Bernadette. Namun, dengan berbagai tekanan dan iming-iming, akhirnya
Pandan pasrah saja dan bahkan kemudian menikmatinya. Apalagi, Devi
Bernadette berhasil mengubah penampilan Pandan menjadi seperti yang
diangankan Pandan.
Sayangnya, di akhir kisah terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka
dan tak diharapkan Devi Bernadette. Peristiwa ini bisa dilihat sebagai
metafora hilangnya nilai-nilai kemanusiaan akibat eksploitasi yang
dilakukan sesama manusia dan juga sebagai gambaran atas merosotnya
derajat manusia dari makhluk mulia menjadi semacam barang atau benda,
akibat terjebak dalam simulakra.
![]() |
Foto : Ilustrasi/TeaterPohon |
Dalam manisfetonya, Teater Pohon yang didirikan di Jakarta pada 1 Mei
2011 memang meniatkan diri sebagai kelompok teater yang akan
menyuarakan penderitaan manusia, terutama dari kalangan miskin dan kaum
tertindas, yang tak mampu bersuara. “Teater Pohon sejak awal mengirarkan
diri untuk tidak terikat pada satu bentuk/gaya pemanggungan tertentu
dalam pertunjukan-pertunjukan teaternya. Meski tetap memperhatikan
pertimbangan artistik, yang paling penting dalam pertunjukan-pertunjukan
Teater Pohon adalah menyuarakan penderitaan manusia, terutama dari
kalangan miskin dan kaum tertindas, yang tak mampu bersuara, baik karena
keterbatasan akses maupun karena dibungkam atau terbungkam oleh
kekuatan dominan dalam berbagai aspek kehidupan,” demikian petikan
manifesto Teater Pohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar