28 Februari 2014

JPRET – Sebuah Bidikan Yang Terlepas

Ulasan Pementasan Teater Nona Tetra pada Festival Teater Pelajar ke-12, 2014 Jakarta Barat 

foto : Imam Fauzi/ ilustrasi
Panggung dibuka dengan sebuah adegan teaterikal yang sarat penanda, deretan beberapa pemain mengisi ruang panggung tertutup lembaran-lembaran koran.

Kemudian masuk seorang pemain laki-laki dari sisi kanan panggung, yang sebelumnya muncul batang bambu dengan kibaran bendera kuning terbuat dari kertas minyak. 

Aktor itu mengucapkan kata-kata “Jepret” dengan vokal suara yang intens dan berulang-ulang sambil silam kearah sisi kiri panggung. Kemudian adegan berlanjut dengan peristiwa panggung yang berkembang. 

Panggung disetting dengan sedemikian rupa. Tumpukan barang-barang besar, kardus-kardus, jaring yang menjuntai , penataan cahaya cukup mewakili kegelisahan peristiwa panggung yang hendak dibangun. Spirit protes yang terasa dari seluruh pemain yang menghidupkan naskah ini cukup menghentak para penonton. Dengan karakter vokal yang hampir seragam dan disisipi dialog-dialog sindiran yang tak ada dalam naskah, hal itu mampu membawa imajinasi penonton pada suasana demonstrasi yang krodit.

Semua itu menjadi tontonan tersendiri, menjadi sebuah hiburan yang tidak sekedar memancing gelak tawa. Panggung menjadi arena pelampiasan kekesalan yang nyata ditujukan bukan untuk penontonnya.

Ada senyawa yang menyatu antara kegelisahan yang diungkap diatas panggung dengan kegelisahan pesan dari naskah, hanya saja kerja sutradara sepertinya jadi terlalu berat. Terbukti dengan editing yang dilakukan terkesan terlalu tergesa-gesa sehingga ada beberapa pesan yang belum optimal tersampaikan.

foto : Imam Fauzi/ilustrasi
Bahasa menjadi sedemikian verbal diungkapkan oleh para pemain, padahal gagasan artistik dan pemanggungan sudah cukup menohok untuk dibaca sebagai sebuah penanda dari semangat protes tersebut. 

Hal itu menjadi wajar, karena mereka tidak sedang mencari simpati dari para penonton. Mereka semua menyuguhkan sebuah pementasan yang sarat dengan kritik dan protes, sebagaimana yang mereka ungkap dalam booklight sebuah sinopsis pertunjukan.


“mereka adalah para aktor yang dievaluasi menjadi hiburan murah, tak berharga .. Para aktor yang berteriak karena tak punya waktu berlatih, tak punya anggaran biaya, tak punya kekuatan karena tak punya apa-apa, mereka dibuang di panggung sendirian .. mereka berteriak”

Seperti itulah, dan sutradara layak diberi acungan jempol sebagai seorang kreator yang jeli melihat persoalan dan mampu memberi ruang diatas panggung sebagai solusinya, terlepas dari sasarannya tepat atau tidak.

Salam (@mh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar