Sebuah Orasi Sastra Oleh Remy Sylado dalam acara napak tilas WS Rendra |
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 25 November 2013 |
Puan-puan dan Tuan-tuan
Dalam bahasa Kawi, Kawindra adalah ‘Penyair Besar.’ Demikian L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuno Indonesia. Atau, lebih jauh kawindra adalah ‘Raja Pujangga.’ Demikian P.J. Zoetmulder dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno Indonesia.
Dalam bahasa Kawi, Kawindra adalah ‘Penyair Besar.’ Demikian L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuno Indonesia. Atau, lebih jauh kawindra adalah ‘Raja Pujangga.’ Demikian P.J. Zoetmulder dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno Indonesia.
Dengan rasa hormat yang sepatutnya, mohon izin saya ingin menyebut W.S. Rendra sebagai Kawindra.
Alasannya akan saya sampaikan secara umum dibawah nanti. Sebelum itu,
perbolehkan saya mengingat-ingat kejadian dulu dengan perasaan masygul,
pada hari terakhir hidupnya, ketika ia diberitakan telah berpulang ke
rahmatullah.
![]() |
foto : ilustrasi/DKJ |
Berita wafatnya Rendra, berdekatan dengan berita meninggalnya Mbah Surip.
Serta merta saya prihatin, sebab dengannya muncul juga berita gunjing
tentang Cikeas. Bahwa konon presiden RI ke-6 dan ke-7 Susilo Bambang
Yudhoyono, merasa lebih terpanggil memberi pernyataan belasungkawa
kepada Mbah Surip ketimbang kepada Rendra.
Itu aneh memang, sebab kita yang biasa datang ke Pasar Seni Ancol, sama-sama tahu, bahwa Mbah Surip yang selama itu hidup sebagai bambung , tapi tiba-tiba beken dan punya cukup uang karena rekaman lagu
“Tak Gendong Kemana-mana”, yang mohon izin pula, bahwa saya ingin
mengatakan itu lagu sampah, sebab lagu tersebut sepenuhnya merupakan bajakan
dari melodi instrumentalia Billy Vaughn pada 1960-an berjudul “Runchy”
yang pada masanya di Bandung diplesetkan oleh Harry Rusli dengan
kata-kata Joran Porno, khas kompleks pelacuran Saritem.
Maka menghormati dengan cara aneh terhadap seorang Bambung lebih terhadap seorang Kawindra,
bagi saya ini sungguh keterlaluan. Ini tidak berarti bahwa saya menutup mata pada
kegigihan Mbah Surip yang berjuang mati-matian untuk memperoleh nafkah yang
layak sampai dia benar-benar mati sungguhan.
Tapi, di luar itu, memang terlihat sikap menghargai pelaku seni pop
yang berlebihan oleh ketua-ketua partai dalam tatanan politik kita sejak
zaman Orde Baru. Maka disitu terlihat pada khususnya masa kampanye,
mulai dari pilpres, pilgub, sampai pil pahit (karena tidak menang!), betapa
pelaku-pelaku seni pop itu tidak dihiraukan lagi, yaitu anak emas
berubah menjadi anak tiri. Artinya pelaku-pelaku seni pop itu hanya dihargai
manfaatnya sebagai barang, dan bukan martabatnya sebagai orang.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Jadi ketika Presiden RI diberitakan: tidak cukup kesungguhan menunjukan rasa simpati, belasungkawa , dan terpanggil untuk menyatakan belasungkawa pada seorang Kawindra yang nyata-nyata telah berjasa mengangkat harkat bangsa lewat karya sastranya, yang notabene dipujikan meluas di antero mancanegara, tapi sebaliknya malah lebih condong mengapresiasi secara verbal seorang pelaku seni pop yang nyata-nyata pula plagiat, maka kenyataan tersebut membuat saya mohon maaf, terpaksa harus menganggap Presiden RI telah dengan tidak sadar merendahkan martabatnya sendiri sebagai seorang intelektual yang tidak bijak bestari di batas yang nian absurd.
Jadi ketika Presiden RI diberitakan: tidak cukup kesungguhan menunjukan rasa simpati, belasungkawa , dan terpanggil untuk menyatakan belasungkawa pada seorang Kawindra yang nyata-nyata telah berjasa mengangkat harkat bangsa lewat karya sastranya, yang notabene dipujikan meluas di antero mancanegara, tapi sebaliknya malah lebih condong mengapresiasi secara verbal seorang pelaku seni pop yang nyata-nyata pula plagiat, maka kenyataan tersebut membuat saya mohon maaf, terpaksa harus menganggap Presiden RI telah dengan tidak sadar merendahkan martabatnya sendiri sebagai seorang intelektual yang tidak bijak bestari di batas yang nian absurd.
Pernyataan yang naif timbul disitu adalah: apa Kepala Negara memang
hanya gandrung mengapresiasi seni pop, berhubung SBY juga pencipta
lagu-lagu pop dengan sekurangnya dua judul disangsikan sebagai bentuk
reminiscenza untuk tidak mengatakan plagiarisme? Lantas, apakah dengan
begitu Kepala Negara bersikap abai terhadap seni murni dalam sastra yang
galib merangsang dan menuntun orang untuk mampu berpikir serius dan
kritis nasional?
Tapi apakah ya, opo tumon Pak Presiden tidak mengenal kawindra Rendra?
Jika benar begitu, dakwaannya adalah, bagaimana mungkin diterima akal
sehat bahwa seorang Kepala Negara yang menempatkan diri sebagai perajin
puisi, artinya yang rajin menulis-nulis puisi, tidak mengenal Kawindra
bangsa ini yang telah berjasa pula menyemangati pikiran-pikiran baru
kesenian modern Indonesia antara sastra dan teater? Padahal, sementara
itu anak-anak sekolah dasar pun di antero negeri, dalam mata pelajaran
Bahasa dan Sastra, pasti mengenal Rendra.
Puan-puan dan Tuan-tuan.
Barangkali anda semua belum tahu bahwa sebagai seorang perajin puisi, Pak Presiden sudah menerbitkan dua buku kumpulan puisi. Yang pertama, atas permintaan Istana, pengantarnya dibuat oleh K. H Mustofa Bisri. Dan yang kedua, atas permintaan Istana pula, pengantarnya dibuat oleh Putu Wijaya. Lantas supaya sempurna “asas pemerataan kebingungan”, maka satu puisi dari satu buku yang pertama dan satu puisi dari buku kedua, dibacakan oleh Encik Profesor Sapardi Joko Damono dan Encik Profesor Jakob Sumardjo di depan penonton di Gedung Kesenian Jakarta.
Barangkali anda semua belum tahu bahwa sebagai seorang perajin puisi, Pak Presiden sudah menerbitkan dua buku kumpulan puisi. Yang pertama, atas permintaan Istana, pengantarnya dibuat oleh K. H Mustofa Bisri. Dan yang kedua, atas permintaan Istana pula, pengantarnya dibuat oleh Putu Wijaya. Lantas supaya sempurna “asas pemerataan kebingungan”, maka satu puisi dari satu buku yang pertama dan satu puisi dari buku kedua, dibacakan oleh Encik Profesor Sapardi Joko Damono dan Encik Profesor Jakob Sumardjo di depan penonton di Gedung Kesenian Jakarta.
Artinya dengan melihat gambaran aktual di atas, maka sebagai perajin
puisi yang bisa memberdayakan bakat para nama mahsyur dipeta susastra
Indonesia itu, tentunya SBY tidak boleh dibilang tidak mengenal Rendra.
Walaupun, ya, menyedihkan kenyataannya sikap anak emas nya terhadap
pelaku-pelaku seni pop antara instrumentalis maupun vokalis, memang
menyolok (bukan mencolok) sekali. Tentu saja kenyataan itu disebabkan
oleh alasan: rajinnya pula Pak Presiden mencipta lagu-lagu pop; yang model musik hiburan khas Amerika yang oleh Presiden RI yang pertama dulu
disebut sebagai ‘musik ngak-ngik-ngok.’
Tapi, sekarang kalau akhirnya dikatakan, bahwa SBY kenal Rendra dan memang
seharusnya begitu, namun entah, apakah ia membaca karya-karya sastra
Rendra meliputi puisi, prosa, dan drama, serta esai. Lantas mengapa pula
masih diprasangkai seakan-akan ada masalah serius dengan Rendra,
sehingga ia tidak diberitakan menyatakan belasungkawa yang semadyanya
secara negara terhadap wafatnya sang Kawindra, seperti belasungkawa yang justru diberitakan atas meninggalnya sang bambung.
Kalau begitu apakah masalahnya politis?
Wallahualam, entah, hanya tuhan dan barangkali iblis yang tahu duduk masalahnya.
Terus terang saya tidak mau berprasangka buruk. Tidak mau mengatakan
bahwa barangkali Pak Presiden galau melihat Rendra membaca puisi dalam
kampanye Pilpres Megawati – Prabowo yang dilaksanakan di tempat
pembuangan sampah. Di sana, seperti selalu, Rendra menempatkan diri
sebagai oposan terhadap kekuasaan, pemerintah yang melaksanakan roda
pemerintahannya dengan timpang karena korup. Untuk tema
macam itu tampaknya Rendra cempiangnya, pahlawannya. Ia memiliki karunia indra yang
tajam dengan kemampuan ekspresi verbal yang sangat Jawa, yaitu suatu
kemampuan estetis literal yang dibya dari leluri dari ungkapan-ungkapan
derivatif sanepan seperti yang kita baca pada misalnya, Ronggowarsito
dalam bentuk macapatnya. Dengan demikian hal itu tidak bersua dalam
premis puisi kritik yang lain dibingkai bahasa Indonesia, baik dalam
puisi Taufiq Ismail pada 1966 maupun puisi Widji Thukul pada 1996.
Untuk melihat substansi itu secara kongkret, baik kita pirsa karyanya
“Blues Untuk Bonnie.” Dengan ini Rendra mengaku bahwa ia mengalami
ketegangan kreatif yang menyentuh rasa moralnya dengan menuliskannya.
Kendati ketegangan itu sendiri merupakan padahan sosial-politik yang
secara hakiki telah memotivasi akalbudi untuk mengejawantahkannya
menjadi wujud, tampaknya ia lebih merasa karya ini sepenuhnya lahir dari
situasi internal sukma yang membuatnya merasa antara seperti
‘kesurupan’ dan seperti ‘tertawan.’ Dari kumpulan “Blues Untuk Bonnie”
ini kita bisa baca sepotong dari Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta:
Politisi dan pegawai tinggi
Adalah calo yang rapi
Kongres-kongres dan konperensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tidak pernah bisa bilang “tidak”
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijasah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Adalah calo yang rapi
Kongres-kongres dan konperensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tidak pernah bisa bilang “tidak”
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijasah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Puan-puan dan Tuan-tuan
Dalam pengakuan Rendra sendiri—demikian kita baca makalahnya pada temu sastra 1982 di Jakarta yang kemudian dimuat di Kompas 17 Desember 1982—bahwa baru setelah tahun 1971 ia benar-benar melihat ketimpangan keadilan sosial, politik, dan ekonomi secara struktural dalam tatanan pemerintahan militeristik Soeharto, dan olehnya ia tergairahkan untuk mencipta tema-tema itu dalam puisi dan dramaturginya.
Dalam pengakuan Rendra sendiri—demikian kita baca makalahnya pada temu sastra 1982 di Jakarta yang kemudian dimuat di Kompas 17 Desember 1982—bahwa baru setelah tahun 1971 ia benar-benar melihat ketimpangan keadilan sosial, politik, dan ekonomi secara struktural dalam tatanan pemerintahan militeristik Soeharto, dan olehnya ia tergairahkan untuk mencipta tema-tema itu dalam puisi dan dramaturginya.
Ia membuat kliping sebanyaknya tentang permasalah ketidakadilan
pemerintahan Orde Baru itu untuk dijadikannya bahan ilham atas seni-seni
kritisnya dalam sastra dan teater. Maka, jamaklah dibilang bahwa jika
hendak melihat carut-marut Indonesia zaman Orde Baru, antara lain
bacalah puisi Rendra dan nonton teaternya. Kalau boleh saya ingin
bilang, itu kira-kira muradif dengan melihat realitas centang-perenang
Amerika pada lirik-lirik lagu Bob Dylan.
Sudah tentu greget dan sikap oposan Rendra itu mengundang
musibah bagi dirinya. Jajaran depotisme Soeharto mencekalnya,
mengebirinya, memaksanya bungkam, pendeknya memperkosa hak asasinya. Itu
berlangsung cukup lama. Dan itu menyusahkan pendapatan anggota-anggota
Bengkel Teaternya yang selama itu bersandar penuh pada kegiatan
pertunjukan Rendra.
Beberapa anggota Bengkel Teater datang pada saya, mengeluh karena
pencekalan Rendra, dan ingin berteater dengan saya lewat bentuk apapun.
Maka, saya menyampaikan ini kepada Handoko Kusumo, anak Cina Malang yang
nyentrik dan menyenangkan, yang selama itu menjadi produser
rekaman untuk beberapa volume musik-musik saya. Segera timbul gagasannya
untuk membuat rekaman drama dalam kaset, cerita “Orexas” yang pada
1970-an dilarang penguasa Bandung, baik pihak polisi maupun tentara.
Hampir semua anggota Bengkel Teater ikut bermain dalam rekaman drama
ini, mulai dari Kelono Gambuh yang kemudian mendirikan Jengkel Teater
tapi mandul karena kurang cendikia, kemudian Iwan Burnarni, Sawung Jabo,
Lily Suardi, sampai istri Rendra sendiri Ken Zuraida.
Tidak cuma itu. Produser musik yang nyentrik ini, yang dikenal juga
sebagai penemu Iwan Fals dan Doel Soembang, bahkan membuat rekaman dalam
kaset pembacaan puisi Rendra dan saya dengan judul “2 R Membaca Puisi.”
Maunya tak lain adalah memberi kegiatan kesenian dengan honorarium
tertentu buat Rendra yang pada saat itu memang sangat terpukul.
Tentu saja langkah-langkah diatas tidak sertamerta menyembuhkan
kerinduan anak-anak Bengkel Teater untuk kembali bisa berjaya bersama
sang Kawindra di atas panggung. Di samping langkah di atas, saya
juga sempat membawa anak-anak Bengkel Teater itu bermain drama di
Tasikmalaya, menggarap naskah farce yang saya adaptasi dari
dramaturgi Elwy Mitchell “A Husband For Breakfast.” Dan kegiatan itu
saya anggap sekedar obat rindu bercinta dengan teater tanpa mencapai
orgasme. Saya bilang kepada mereka, mungkin waktu bagi Rendra belum lagi
kembali.
Pada suatu hari setelah setelah pertunjukan di Tasikmalaya, saya
heran, diundang oleh pihak Sekneg untuk rapat di kantornya di bilangan
Harmoni, membahas rencana suatu pertunjukan besar yang akan
dipertalikan dengan perayaan Golkar di Istora. Di Dalam ruang belakang
kantor Sekneg itu ada Sudharmono, ada Sukarton, dan ada juga Kris
Biantoro.
Yang dibahas di situ adalah, bagaimana mengalihkan perhatian
masyarakat supaya tidak datang menonton pertunjukan Guruh Sukarnoputra.
Waktu itu pertunjukan Guruh memang menjadi contoh bisnis panggung yang
luar biasa. Bapak-bapak di kantor Sekneg itu memandang dengan prasangka
bahwa semaraknya pertunjukan Guruh itu sebagai bahaya kembalinya
kegandrungan pada Bung Karno. Mereka takut bahwa Guruh mendapatkan
dukungan finansial dari orang-orang sukses yang dulu berpendidikan
“Pejah gesang nderek Bung.” Tapi apologia yang dibuat santer dalam rapat
itu, adalah bahwa nilai pertunjukan Guruh tidak menggambarkan
keperkasaan untuk mencinta tanah air, tapi malah kegemulaian untuk
mencintai sesama jenis.
Saya ingat Jendral Sukarton bertanya kepada saya, bagaimana membuat
pertunjukan besar teater dengan tema kebangsaan yang bisa mengalihkan
perhatian orang untuk tidak menonton pertunjukan Guruh. Wah, ini
pertanyaan jendral yang bekualitas kopral. Catatan mereka di situ, yang
kemudian saya ketahui berasal dari Kris Biantoro, bahwa saya sudah
membuat pertunjukan besar di Balai Sidang “Jesus Christ Supertar” dalam dua
tahun berturut-turut, 1980 dan 1981. Maka jawab saya kepada sang
Jendral, “izinkan Rendra bekerja sama dengan saya, sebab hanya Rendra
yang memiliki kharisma itu.” Langsung, semua bapak-bapak yang ada di situ
cemberut. Muka mereka seperti kerendem cuka.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Pertama kali saya mengenal nama Rendra, dan puisinya, ketika saya
masih duduk di SMP. Ia berdeklamasi pada suatu acara di halaman
katerdral Randusari, Semarang, yang tanahnya menyatu dengan sekolah saya
Domenico Savio. Kala itu ia masih Kristen. Yang disebut Kristen adalah
semua yang percaya pada kredo Bapa-Putra-Roh Kudus, dan Almaseh Isa ibni
Maryam sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Jadi, tidaklah benar
anggapan umum yang mengira bahwa hanya Protestan saja yang sah dibilang
Kristen. Yang benar, Kristen adalah juga Katolik. Kelak Rendra akan
meninggalkan kekristenannya itu karena memilih Islam sebagai Akidah yang
benar di jalan Allah. Itu di luar catatan saya bahwa ia bisa beristri
lebih dari satu yang dilarang dalam Kristen tapi tidak dilarang dalam
Islam. Sementara itu, bagi Kristen, Rendra masih bisa dibilang Kristen.
Yaitu Kristen Murtad.
Sebelum Murtad pada kekristenannya, puisi-puisi Rendra di masa awal
kreatifnya, 1950-an, memang sangat diwarnai oleh tradisi gereja Katolik.
Kita melihat itu pada puisi pilihan H.B. Jassin dalam “Angkatan
66”—yang notabene disikat oleh Ayip Rosidi sebagai pengukuran yang
rancu—masing-masing “Lintani Domba Kudus” dan “Ballada Penyaliban.”
Perikop dalam empat injil tentang penyaliban tersebut telah lebih dulu
kita baca dengan metafora yang beda dalam puisi Chairil Anwar pada
1940-an, dan kemudian dengan metafora yang tak sama pula dalam puisi
Subagio Sastrowardojo pada 1950-an.
Bagi Kristen, sejarah salib merupakan dasar peradaban. Tapi, bagi
Islam, pengetahuan tentang sejarah salib itu ditolak tegas berdasarkan
pegangan Al-Quran, kitab suci yang memenuhi syarat dalil Akli dan dalil
Nakli, yaitu pada bacaan surah An-Nisaa’ 157.
![]() |
foto : ilustrasi/sorgemagz.com |
Sekarang, coba kita baca bagian awal puisi Rendra “Ballada Penyaliban” tersebut.
Yesus berjalan ke Golgota
Disandangnya salib kayu
Bagai domba kapas putih
Bagai domba kapas putih
Tiada mawar-mawar di jalanan
Tiada daun-daun palma
Domba putih menyeret azab dan dera
Merunduk oleh tugas teramat dicinta
Dan ditanam diatas maunya
Tiada daun-daun palma
Domba putih menyeret azab dan dera
Merunduk oleh tugas teramat dicinta
Dan ditanam diatas maunya
Mentari meleleh
Segala menetas dari luka
Dan leluhur kita Ibrahim
Berlutut, dua tangan pada Bapa
Segala menetas dari luka
Dan leluhur kita Ibrahim
Berlutut, dua tangan pada Bapa
Bapa kami di sorga
Telah terbantai domba paling putih
atas altar paling agung
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala
Telah terbantai domba paling putih
atas altar paling agung
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala
Puan-puan dan Tuan-tuan
Terakhir kali saya bertemu Rendra ketika kami bertujuh – Noorca
Masardi, Eddy D. Iskandar, Embi C. Noer, Chairul Umam, dan Rima Melati
sebagai ketua—menjadi juri FFI yang heboh itu, di mana para pemenang
ramai-ramai mengembalikan piala-pialanya. Konon mereka yang marah-marah
itu terhasut oleh seseorang yang memperkeruh peristiwa itu tersebut
dengan isu SARA dalam rangka mengincar kedudukan dalam dewan film untuk
kendaraan politiknya. (Mudah-mudahan saja keributan seperti ini tidak
terjadi lagi dalam FFI tahun ini di mana kembali saya menjadi juri
bersama antara lain Slamet Rahardjo sebagai Ketua, Tommy F. Awuy sebagai
Sekretaris, dan anggota-anggota Arswendo Atmowiloto, Didi Petet, dll).
Ketika bersama-sama Rendra menjadi Juri FFI waktu itu, saya lihat ia
begitu tekun menonton semua film, mengapresiasi film sebagai
sunguh-sungguh elemen teater yang paling purna. Maklum, sebagai Kawindra, ia juga bintang film. Ia ke film karena berhasil dirayu
Motinggo Busye, sastrawan dan pelukis, yang membuat film dengan memakai
judul dari salah satu larik puisi Chairil Anwar, yaitu “Cintaku Jauh di
Pulau.”
Ketekunan Rendra mengapresiasi karya film dalam festival itu menjadi
buyar, dan duduknya usreg, ketika harus menilai karya Garin Nugroho,
“Opera Jawa.” Satu-dua kali terdengar ia bersungut, “Karepe opo to iki?”
Dan, setelah sampai pada saat juri akan melakukan rapat untuk menilai,
dia berkata kepada saya, “ Lo, karepe kuwi meh gawe film opo instalasi.
Elek! Kuwi nyolong soko teaterku.”
Tapi bagaimana nilai ilustrasi musik “Opera Jawa” itu?
Saya memberi nilai tinggi. Rendra tidak. Karuan menjadi debat. Saya
ngotot bahwa ilustrasi musik yang dibuat oleh Rahayu Supanggah itu harus
dibilang istimewa, sebab di situ terkupingkan dengan jelas kepandaian
menggali laras gending sebagai roh keindahan alami timur di sanding
kredensi gerejawi yang artinya Barat, menjadi vernalkular tipikal yang
mathluk karena gathuk.
Apa boleh buat, Rendra mesti mengamini alasan saya itu. Dan, itu
tercapai setelah saya harus memberi “kuliah” padanya soal ciri-ciri
teoritis pelog dan slendro pada masing-masing frekuensi dalam
perbandingannya dengan skala diatonik dan kromatik. Ia terkesima karena
saya bilang titilaras slendro itu aslinya Cina, ditemukan oleh Ling Lun
pada zaman dinasti Xia, 2100 tahun sebelum tarikh Masehi, dan lazimnya
disebut Huang-Mei-Tiau, lantas dibawa ke Jawa lewat Borobudur oleh guru
besar agama Budha bernama Hwi Ming, dan dibakukan sesuai nama sang raja
Syailendra.
Begitulah Puan-puan dan Tuan-tuan, setelah itu Rendra meminta saya
membuat diskusi khusus musik Bengkel Teater. Dan seentengnya ia berkata,
“honormu tak sediakke 10 juta. Cukup ora? Nek kurang, gampang mengko
aku jaluk soko Akademi Jakarta wae.”
Tapi gagasan itu tak pernah terwujud, sampai akhirnya di saat saya
berada jauh dari Jakarta, saya membaca berita tentang berpulangnya sang
Kawindra. Innalillahi wainnailaihi roji'un. Sang Kawindra wafat, tapi
hidup sang Kawindra.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Arti penting Rendra akhirnya harus dilihat dalam sejarah teater modern Indonesia. Penting, karena kehadirannya setelah lama menimba ilmu dan pengalaman seni di Amerika, dikembangkan di Indonesia, dan membuat Indonesia yang selama itu tidur, tiba-tiba bangun oleh kiprahnya. Yang tua-tua, dan ingin mati dengan tenang, banyak yang marah pada wawasan kontemporer Rendra: menghancurkan seni yang mapan dan kataklismik— a violent and sudden change — dalam sikap yang disebutnya urakan.
Arti penting Rendra akhirnya harus dilihat dalam sejarah teater modern Indonesia. Penting, karena kehadirannya setelah lama menimba ilmu dan pengalaman seni di Amerika, dikembangkan di Indonesia, dan membuat Indonesia yang selama itu tidur, tiba-tiba bangun oleh kiprahnya. Yang tua-tua, dan ingin mati dengan tenang, banyak yang marah pada wawasan kontemporer Rendra: menghancurkan seni yang mapan dan kataklismik— a violent and sudden change — dalam sikap yang disebutnya urakan.
Ia pun membuat gerakan urakan tersebut dalam sebuah pertemuan di
Prangtritis. Ia mengundang saya juga untuk hadir di situ. Tapi saya
tidak bisa datang. Saya menjawab dengan membuat pementasan teater di
Bandung, berjudul “Genesis II” yang notabene diinterogasi polisi selama
10 hari, dan di dalam katalog pementasan ini saya mengatakan: tidak sreg
dengan pemberontakan terhadap kemapanan melalui sikap urakan. Saya
memilih kata Mbeling. Sebab, kata saya, entri urakan dalam bahasa Jawa itu jelek. Sebaliknya Mbeling dalam bahasa Jawa berarti nakal tapi
sembada. Sejak kecil, di kelas V saya sudah dibilang Mbeling oleh guru
saya. Entri ini diucapkan oleh guru agama Islam di SR Karangasem,
Semarang, untuk memuji karena saya satu-satunya Kristen dalam kelas yang
paling bagus menulis kalimat Quran surah 1 ayat 1. Jadi, kata Mbeling
itu saya pakai memperkenalkan teater kontemporer saya, di dikritik
ramai-ramai oleh seniman-seniman tua Bandung mulai dari Rustandi
Kartakusumah sampai Wing Kardjo. Hanya satu orang tua saja yang
menganggap itu positif, bahkan memuji, yaitu M.A.W Bouwer dalam
resensinya berjudul “Coming of the age of Bandung” di Kompas Mei 1972.
Setelah itu saya pakai juga kata Mbeling untuk rubrik puisi yang saya
buat di majalah saya Aktuil, dan segera diikuti oleh sejumlah anak muda.
Salah seorang di antara anak muda itu yang kini hadir di bianglala
prosa paling hebat adalah: Seno Gumira Ajidarma.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Jujur saya harus akui, sensasi Rendra dalam teater urakan itu memang luar biasa bisa menggelisahkan saya untuk mencari dan menemukan teater kontemporer saya. Kebetulan saya mendapatkan anggota-anggota teater yang siap disuruh latihan pagi, siang, ataupun malam tanpa pusing-pusing menghitung anggaran transportasi dan konsumsi sebagaimana sekarang hal itu menjadi masalah berat di Jakarta. Anggota-anggota teater saya waktu itu adalah semuanya mahasiswa Akademi Cinematografi di mana saya mengajar dramaturgi, musik, dan make-up (yang bukan banci).
Jujur saya harus akui, sensasi Rendra dalam teater urakan itu memang luar biasa bisa menggelisahkan saya untuk mencari dan menemukan teater kontemporer saya. Kebetulan saya mendapatkan anggota-anggota teater yang siap disuruh latihan pagi, siang, ataupun malam tanpa pusing-pusing menghitung anggaran transportasi dan konsumsi sebagaimana sekarang hal itu menjadi masalah berat di Jakarta. Anggota-anggota teater saya waktu itu adalah semuanya mahasiswa Akademi Cinematografi di mana saya mengajar dramaturgi, musik, dan make-up (yang bukan banci).
Dan, saya rasa tempaan terhadap teater saya dalam menemukan nilai
kontemporer lewat Mbeling, bukan urakan, termasuk peran Sutardji Calzoum
Bachri yang saban hari datang ke tempat latihan saya di jl. Naripan,
tak jauh dari kantor korannya, untuk mengejek-ejek saya. terlebih lagi,
ia biasa menertawai Abdul Hadi WM yang ikut main drama di teater saya,
dan dibilangnya vokal Abdul Hadi itu bagai itik disembelih. Maklum,
vokal Sutardji termasuk bagus, bisa nyanyi lagu jazz standar New Orleans
dengan meniru suara Louis Armstrong. Sementara, ejekan pada saya,
“Terberak-berak kau mengejar Rendra di depan.”
Memang di sana istimewanya Rendra. Selain Kawindra, di dalam teater Rendra adalah Agramanggala.
Dalam bahasa Kawi, agramandala adalah ‘Pemimpin Paling Unggul.’
Demikian Zoetmulder dan Mardiwarsito dalam kamusnya masing-masing.
Akhir kalam, Puan-puan dan Tuan-tuan, mohon izin saya bernudub, agar
nudub ini dibawa angin sampai Cikeas dan didengar Bapak Presiden, untuk
mau berdoa bersama saya: Semoga arwah mas Willy yang Kawindra dan Agramanggala diterima di sisi Allah, Amiin ya rabbalalamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar