3 Juli 2013

Rendra dan Jagat Teater Indonesia


foto : ilustrasi/oase.kompas.com
Rendra adalah seorang sutradara, aktor, dan pembaca puisi yang memukau. Dialah yang memperkenalkan terra incognita di dunia teater modern Indonesia.
SEORANG perempuan muda, cantik, agak kurus, duduk di kursi. Ia tampak putus asa karena belum merasa berhasil menemukan motif perannya. Rendra duduk di hadapannya sembari mencoba berpikir keras untuk merangsang akting sang gadis. Tiba-tiba, ia mengambil saputangan perempuan itu yang diletakkan di atas meja dan memberikannya kepadanya. Ia meminta agar perempuan itu meremas-remas saputangannya sendiri beberapa kali. Sesudah itu, Rendra memintanya tenang. Kemudian, ia mendekati seorang aktor dan memintanya stand by. Lalu, ia berteriak keras, "Konsentrasi!" Tiga hitungan sesudah itu, ia berteriak lagi, "Action!".

Perempuan itu mulai meremas-remas saputangannya. Kegelisahannya mulai memancar dari wajahnya. Kemudian, Rendra memukulkan tangannya kuat-kuat ke meja beberapa kali: dok, dok, dok. Perempuan itu terkejut dan langsung berdiri sambil terus meremas saputangannya, melihat ke kiri dan ke kanan, ketakutan. "Eric, Eric. Ada orang mengetuk pintu!" teriaknya melengking.
 
foto : ilustrasi/tembi.net
Sang aktor maju dua langkah. Sambil berdiri tegak dengan wajah kosong, ia menjawab jeritan itu dengan nada yang rendah dan datar, "Tidak ada orang mengetuk pintu, Madam." Rendra tampak puas dan memuji aktris itu.

Merangsang dari dalam adalah salah satu cara Rendra menyutradarai sebelum ia belajar teater di Amerika. Sepotong latihan pentas Suara-Suara Mati karya Manuel van Logem terjemahan Soenarto Timoer itu sebetulnya tambahan adegan versi Rendra. Dalam terjemahan dan naskah aslinya, adegan ini tidak ada. Rendra sengaja memberi imbuhan ini untuk menciptakan suasana mencekam.

Latihan itu diselenggarakan­ di rumahnya, Sawojajar 28, Yogyakarta, pada Februari 1962. Sebelum itu, di tempat yang sama, Rendra juga telah menyelenggaraka­n beberapa latihan pentas lakon, antara lain lakon kolosal Paraguay Tercinta, yang melibatkan Arifin C. Noer, Deddy Soetomo, Parto Tegal, Mochtar Hadi, Jasso Winarto, dan sejumlah aktor lainnya. Dalam lakon ini, Rendra, yang oleh teman-temannya dipanggil Mas Willy, memerankan Padre Provincial sekaligus bertindak sebagai sutradara. Dimainkan di Gedung PPBI Yogyakarta, pada awal 1960-an, Rendra menggunakan bagian belakang auditorium yang bertangga-tangg­a sebagai arena pentas. Arena panggung asli justru diisi kursi.

Pada pentas ini, Rendra menunjukkan dirinya sebagai seorang sutradara, aktor, dan deklamator yang memukau. Tatkala memasuki adegan yang sangat menindih, yakni saat Padre Provincial harus memutuskan apakah ia harus membela orang-orang Indian yang ditindas orang Spanyol atau mengikuti perintah dari Roma agar tidak usah sibuk dengan politik, dengan duka pedih ia melantunkan sajak Masmur Padang Hijau. Begitu sajak selesai dideklamasikan,­ penonton yang memadati seluruh gedung bertepuk riuh walaupun lampu auditorium belum menyala.
 
foto : ilustrasi/taufanhidayat.wordpress.com
Dua tahun kemudian, ia selesai menerjemahkan Oidipus Sang Raja karangan Sofokles dan kemudian mementaskannya di gedung yang sama untuk ulang tahun Sanggar Bambu. Pentas ini bagus. Dua rombongan kor, sebagai wakil rakyat Thebes, bersahut-sahuta­n dengan indah. Akting Rendra yang memerankan Oidipus dan Parto Tegal yang memainkan Kreon mengundang pujian dari para wartawan. Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, S.J., seorang ahli sastra klasik, yang menyaksikan pentas ini, mengagumi bukan saja pertunjukannya,­ tapi juga terjemahannya. "Ia memang jenius," katanya.

Sebelum ia meninggalkan Tanah Air untuk menghadiri seminar di Universitas Harvard dan studi teater secara formal di American Academy of Dramatic Art di New York (1964-1967) Rendra masih sempat menerjemahkan dan mementaskan lakon realisme gaya klasik karangan George Bernard Shaw, Arms and the Man. Didampingi oleh Anini Lana Indrayati, yang memerankan Raina, dan Mien Brodjo sebagai Chatarina, Rendra memerankan tokoh Bluntschli sekaligus bertindak sebagai sutradara. Lakon ini menjadi favorit dan banyak dimainkan oleh beberapa kelompok teater di beberapa kota selama ia di Amerika.

foto : ilustrasi/rimanews.com
RENDRA mulai berkesenian sejak berusia 20 tahun. Dilahirkan di Sala dengan nama Willibrodus Surendra pada 7 November 1935, ayahnya seorang guru dan ibunya seorang penari keraton. "Ia bukanlah seorang anak sulung yang manis, tetapi sejak kecil sudah gemar mengembara," tutur D.S. Mulyanto, salah seorang sahabatnya. Sebuah cerpennya, Ia Sudah Bertualang, mengisyaratkan hal itu. "Mas Willy adalah seorang pemberani," kata Soenarti Soewandi, wanita pertama yang dinikahi Rendra.

Sejak duduk di bangku SMU, ia sudah bergabung dengan HBS seksi drama. Lakonnya, Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954), dinyatakan sebagai pemenang pertama sayembara lakon oleh BKPK. Umar Kayam sempat menyutradarainy­a dalam pentas Hanya Satu Kali, sewaktu Rendra berperan bersama Irawati, istri Prof. Dr. Masri Singarimbun.

Pada September 1967, ketika tiba dari Amerika, ia mendirikan Bengkel Teater, bersama Moortri Purnomo, Azwar A.N., Chaerul Umam, dan Bakdi Soemanto. Aktor lain yang kemudian bergabung adalah Putu Wijaya dan Amak Baldjun. Berbeda dengan sanggar teater lainnya, latihan yang diselenggarakan­ lebih untuk mempersiapkan calon aktor dan bukan untuk persiapan pentas semata. Latihan itu menekankan olah tubuh, kepekaan irama, dan mempertajam indera untuk memperkaya imajinasi. Latihan dasar ini, yang tidak dikenal sebelumnya di Indonesia, menyiapkan mereka merambah terra incognita, yakni pengalaman batin yang tidak pernah disentuh, misalnya memusatkan telinga pada suara sepi, mencumbu nestapa, dan mengolah batin.
 
foto : ilustrasi/mybeautyflash.blogspot.com
Berangkat dari kesadaran akan kemiskinan materi, aktor dituntut mengeksplorasi tubuh dan anggota badannya serta imajinasinya. Latihan yang disebut improvisasi ini kemudian melahirkan drama pendek-pendek yang diciptakan secara spontan, yang oleh Goenawan Mohamad disebut teater mini kata. Lakon Selamatan Anak-Cucu Sulaiman adalah mini kata yang menyelenggaraka­n pementasan di beberapa negara. Teater baru ini kemudian merebak di mana-mana, termasuk di berbagai sekolah dan universitas. Inilah awal munculnya drama nonverbal, suatu pergeseran dari lakon-lakon realisme yang bertumpu pada bahasa verbal. Sebagai lakon improvisatoris,­ proses penciptaannya bisa bersama-sama. Bip-bop, yang terkenal itu, walaupun sangat khas Rendra karena di sana ada alurnya yang linier, proses terjadinya tidak lepas dari sumbangan pikiran Putu Wijaya dan Teguh Karya.

Tampaknya, penciptaan lakon secara demokratis memang salah satu ciri Rendra, yang memberi kesempatan teman-teman Bengkel untuk melontarkan usul kritik. Secara tidak langsung latihan ini mempersiapkan pentas Menunggu Godot, sebuah lakon absurd, yang dipentaskan pertama kali pada 1969, bersamaan dengan diterimanya Hadiah Nobel oleh Beckett, penulisnya. Teater mini kata memaksimalkan bahasa nonverbal, yang merupakan tulang punggung medium lakon Godot. Putu Wijaya, yang dalam pentas lakon ini memerankan Pozzo, dan sangat terlatih dalam latihan improvisasi, akhirnya mengubah gaya konvensi realisme dalam penulisan lakon dengan idiom ini. Lakon pertama dengan gaya ini adalah Dap-Dap, lalu ditulis kembali menjadi Aduh. Dalam lomba penulisan lakon oleh DKJ pada awal 1970-an, lakon ini memperoleh hadiah pertama. Lalu bermunculan lakon dengan idiom ini, antara lain oleh Noorca Marendra Massardi, Akhudiyat, Ikranagara, Saini K.M. Setelah itu, kelompok teater lainnya lahir dengan eksperimennya masing-masing.

Begitu banyak pengaruh Rendra terhadap jagat pentas di Indonesia dan itu tak hanya tercakup dalam dunia teater, tetapi juga pembacaan puisi. Poetry reading muncul dan merebak luas setelah ia dengan memukau membacakan Nyanyian Angsa, Bersatulah Pelacur Ibu Kota, dan sajak lainnya di Taman Ismail Marzuki pada pertengahan 1970-an. Kekuatan puitik itu pula yang menjadi salah satu daya sihir lakon-lakon karya Rendra.
foto : ilustrasi/irfront.net
Sesungguhnyalah­, unsur drama dalam diri Rendra berangkat dari kepenyairannya,­ yang telah membangkitkan daya hidup penggemarnya. Tak aneh, pemerintah Orde Baru terus-menerus menjegalnya dengan mempermainkan izin pentas si Burung Merak ini.
 ( Bakdi Soemanto/­Tempo, 10 - 16 Januari 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar