 |
foto : ilustrasi/oase.kompas.com |
Rendra adalah seorang sutradara, aktor, dan pembaca puisi yang memukau.
Dialah yang memperkenalkan terra incognita di dunia teater modern
Indonesia.
SEORANG perempuan muda, cantik, agak kurus, duduk di
kursi. Ia tampak putus asa karena belum merasa berhasil menemukan motif
perannya. Rendra duduk di hadapannya sembari mencoba berpikir keras
untuk merangsang akting sang gadis. Tiba-tiba, ia mengambil saputangan
perempuan itu yang diletakkan di atas meja dan memberikannya kepadanya.
Ia meminta agar perempuan itu meremas-remas saputangannya sendiri
beberapa kali. Sesudah itu, Rendra memintanya tenang. Kemudian, ia
mendekati seorang aktor dan memintanya stand by. Lalu, ia berteriak
keras, "Konsentrasi!" Tiga hitungan sesudah itu, ia berteriak lagi,
"Action!".
Perempuan itu mulai meremas-remas saputangannya.
Kegelisahannya mulai memancar dari wajahnya. Kemudian, Rendra memukulkan
tangannya kuat-kuat ke meja beberapa kali: dok, dok, dok. Perempuan itu
terkejut dan langsung berdiri sambil terus meremas saputangannya,
melihat ke kiri dan ke kanan, ketakutan. "Eric, Eric. Ada orang mengetuk
pintu!" teriaknya melengking.
 |
foto : ilustrasi/tembi.net |
Sang aktor maju dua langkah.
Sambil berdiri tegak dengan wajah kosong, ia menjawab jeritan itu dengan
nada yang rendah dan datar, "Tidak ada orang mengetuk pintu, Madam."
Rendra tampak puas dan memuji aktris itu.
Merangsang dari dalam
adalah salah satu cara Rendra menyutradarai sebelum ia belajar teater
di Amerika. Sepotong latihan pentas Suara-Suara Mati karya Manuel van
Logem terjemahan Soenarto Timoer itu sebetulnya tambahan adegan versi
Rendra. Dalam terjemahan dan naskah aslinya, adegan ini tidak ada.
Rendra sengaja memberi imbuhan ini untuk menciptakan suasana mencekam.
Latihan itu diselenggarakan di rumahnya, Sawojajar 28, Yogyakarta,
pada Februari 1962. Sebelum itu, di tempat yang sama, Rendra juga telah
menyelenggarakan beberapa latihan pentas lakon, antara lain lakon
kolosal Paraguay Tercinta, yang melibatkan Arifin C. Noer, Deddy
Soetomo, Parto Tegal, Mochtar Hadi, Jasso Winarto, dan sejumlah aktor
lainnya. Dalam lakon ini, Rendra, yang oleh teman-temannya dipanggil Mas
Willy, memerankan Padre Provincial sekaligus bertindak sebagai
sutradara. Dimainkan di Gedung PPBI Yogyakarta, pada awal 1960-an,
Rendra menggunakan bagian belakang auditorium yang bertangga-tangga
sebagai arena pentas. Arena panggung asli justru diisi kursi.
Pada pentas ini, Rendra menunjukkan dirinya sebagai seorang sutradara,
aktor, dan deklamator yang memukau. Tatkala memasuki adegan yang sangat
menindih, yakni saat Padre Provincial harus memutuskan apakah ia harus
membela orang-orang Indian yang ditindas orang Spanyol atau mengikuti
perintah dari Roma agar tidak usah sibuk dengan politik, dengan duka
pedih ia melantunkan sajak Masmur Padang Hijau. Begitu sajak selesai
dideklamasikan, penonton yang memadati seluruh gedung bertepuk riuh
walaupun lampu auditorium belum menyala.
 |
foto : ilustrasi/taufanhidayat.wordpress.com |
Dua tahun kemudian, ia
selesai menerjemahkan Oidipus Sang Raja karangan Sofokles dan kemudian
mementaskannya di gedung yang sama untuk ulang tahun Sanggar Bambu.
Pentas ini bagus. Dua rombongan kor, sebagai wakil rakyat Thebes,
bersahut-sahutan dengan indah. Akting Rendra yang memerankan Oidipus
dan Parto Tegal yang memainkan Kreon mengundang pujian dari para
wartawan. Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, S.J., seorang ahli sastra klasik,
yang menyaksikan pentas ini, mengagumi bukan saja pertunjukannya, tapi
juga terjemahannya. "Ia memang jenius," katanya.
Sebelum ia
meninggalkan Tanah Air untuk menghadiri seminar di Universitas Harvard
dan studi teater secara formal di American Academy of Dramatic Art di
New York (1964-1967) Rendra masih sempat menerjemahkan dan mementaskan
lakon realisme gaya klasik karangan George Bernard Shaw, Arms and the
Man. Didampingi oleh Anini Lana Indrayati, yang memerankan Raina, dan
Mien Brodjo sebagai Chatarina, Rendra memerankan tokoh Bluntschli
sekaligus bertindak sebagai sutradara. Lakon ini menjadi favorit dan
banyak dimainkan oleh beberapa kelompok teater di beberapa kota selama
ia di Amerika.
 |
foto : ilustrasi/rimanews.com |
RENDRA mulai berkesenian sejak berusia 20 tahun.
Dilahirkan di Sala dengan nama Willibrodus Surendra pada 7 November
1935, ayahnya seorang guru dan ibunya seorang penari keraton. "Ia
bukanlah seorang anak sulung yang manis, tetapi sejak kecil sudah gemar
mengembara," tutur D.S. Mulyanto, salah seorang sahabatnya. Sebuah
cerpennya, Ia Sudah Bertualang, mengisyaratkan hal itu. "Mas Willy
adalah seorang pemberani," kata Soenarti Soewandi, wanita pertama yang
dinikahi Rendra.
Sejak duduk di bangku SMU, ia sudah bergabung
dengan HBS seksi drama. Lakonnya, Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954),
dinyatakan sebagai pemenang pertama sayembara lakon oleh BKPK. Umar
Kayam sempat menyutradarainya dalam pentas Hanya Satu Kali, sewaktu
Rendra berperan bersama Irawati, istri Prof. Dr. Masri Singarimbun.
Pada September 1967, ketika tiba dari Amerika, ia mendirikan Bengkel
Teater, bersama Moortri Purnomo, Azwar A.N., Chaerul Umam, dan Bakdi
Soemanto. Aktor lain yang kemudian bergabung adalah Putu Wijaya dan Amak
Baldjun. Berbeda dengan sanggar teater lainnya, latihan yang
diselenggarakan lebih untuk mempersiapkan calon aktor dan bukan untuk
persiapan pentas semata. Latihan itu menekankan olah tubuh, kepekaan
irama, dan mempertajam indera untuk memperkaya imajinasi. Latihan dasar
ini, yang tidak dikenal sebelumnya di Indonesia, menyiapkan mereka
merambah terra incognita, yakni pengalaman batin yang tidak pernah
disentuh, misalnya memusatkan telinga pada suara sepi, mencumbu nestapa,
dan mengolah batin.
 |
foto : ilustrasi/mybeautyflash.blogspot.com |
Berangkat dari kesadaran akan kemiskinan
materi, aktor dituntut mengeksplorasi tubuh dan anggota badannya serta
imajinasinya. Latihan yang disebut improvisasi ini kemudian melahirkan
drama pendek-pendek yang diciptakan secara spontan, yang oleh Goenawan
Mohamad disebut teater mini kata. Lakon Selamatan Anak-Cucu Sulaiman
adalah mini kata yang menyelenggarakan pementasan di beberapa negara.
Teater baru ini kemudian merebak di mana-mana, termasuk di berbagai
sekolah dan universitas. Inilah awal munculnya drama nonverbal, suatu
pergeseran dari lakon-lakon realisme yang bertumpu pada bahasa verbal.
Sebagai lakon improvisatoris, proses penciptaannya bisa bersama-sama.
Bip-bop, yang terkenal itu, walaupun sangat khas Rendra karena di sana
ada alurnya yang linier, proses terjadinya tidak lepas dari sumbangan
pikiran Putu Wijaya dan Teguh Karya.
Tampaknya, penciptaan
lakon secara demokratis memang salah satu ciri Rendra, yang memberi
kesempatan teman-teman Bengkel untuk melontarkan usul kritik. Secara
tidak langsung latihan ini mempersiapkan pentas Menunggu Godot, sebuah
lakon absurd, yang dipentaskan pertama kali pada 1969, bersamaan dengan
diterimanya Hadiah Nobel oleh Beckett, penulisnya. Teater mini kata
memaksimalkan bahasa nonverbal, yang merupakan tulang punggung medium
lakon Godot. Putu Wijaya, yang dalam pentas lakon ini memerankan Pozzo,
dan sangat terlatih dalam latihan improvisasi, akhirnya mengubah gaya
konvensi realisme dalam penulisan lakon dengan idiom ini. Lakon pertama
dengan gaya ini adalah Dap-Dap, lalu ditulis kembali menjadi Aduh. Dalam
lomba penulisan lakon oleh DKJ pada awal 1970-an, lakon ini memperoleh
hadiah pertama. Lalu bermunculan lakon dengan idiom ini, antara lain
oleh Noorca Marendra Massardi, Akhudiyat, Ikranagara, Saini K.M. Setelah
itu, kelompok teater lainnya lahir dengan eksperimennya masing-masing.
Begitu banyak pengaruh Rendra terhadap jagat pentas di Indonesia dan
itu tak hanya tercakup dalam dunia teater, tetapi juga pembacaan puisi.
Poetry reading muncul dan merebak luas setelah ia dengan memukau
membacakan Nyanyian Angsa, Bersatulah Pelacur Ibu Kota, dan sajak
lainnya di Taman Ismail Marzuki pada pertengahan 1970-an. Kekuatan
puitik itu pula yang menjadi salah satu daya sihir lakon-lakon karya
Rendra.
Sesungguhnyalah, unsur drama dalam diri Rendra
berangkat dari kepenyairannya, yang telah membangkitkan daya hidup
penggemarnya. Tak aneh, pemerintah Orde Baru terus-menerus menjegalnya
dengan mempermainkan izin pentas si Burung Merak ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar