15 Juni 2013

Bung Karno

Mengenang Bung Karno (1)

foto : ilustrasi
Bung Karno Selundupkan Senjata dari Soviet

Saat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika akan digelar di Bandung pada 1955, Presiden Sukarno sengaja mengundang delegasi Aljazair, yang masih berperang melawan kolonial Prancis. Berkat forum internasional yang digagas Sukarno itulah nama Aljazair pertama kali dikenal dunia internasional. Hingga akhirnya pada 5 November 1962 para pejuang memproklamasikan kemerdekaan Aljazair.

Tapi peran Sukarno bagi Aljazair tak berhenti di situ. Pada 1957, ia menyelundupkan senapan mesin bagi Front Nasional Pembebasan Aljazair untuk melawan Prancis. Misi rahasia ini melibatkan dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet. Setelah berlayar dari Moskow menuju Aljazair, barulah kapal selam itu melanjutkan perjalanan ke Tanah Air.

Pada 1949 hingga 1958, Uni Soviet memang memproduksi 236 kapal selam kelas Whiskey, yang 12 di antaranya dibuat untuk Indonesia. Bahkan, menurut Abdelhamid Mehri, pejuang Aljazair yang meninggal pada 30 Januari 2012, Sukarno tak cuma menyuplai senjata dari Moskow, tapi juga mengirimkan perwira-perwira TNI dari berbagai angkatan untuk melatih pejuang Aljazair.

Ketika Guntur bertanya apakah Bung Karno tidak takut pada sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa karena melanggar hukum internasional, dia membalas dengan suara kentut yang besar! Ya, dia bilang kalau PBB berani menghukumnya karena membantu negara lain lepas dari penjajahan, dia akan mengentuti badan internasional itu.

“Soal kemerdekaan, soal menghancurkan imperialisme, itu buatku nomor satu,” ujarnya seperti dikutip Guntur dalam buku Bung Karno, Bapakku Kawanku, Guruku.

Tapi Sukarno tak hanya nekat. “Kita itu harus pakai otak,” kata Bung Karno menjelaskan alasannya mengirim senjata ke Aljazair.

Buat Sukarno, membantu Aljazair merdeka merupakan taktik diplomasi menikung buat merebut Irian Barat. Menyerang langsung ke Papua hanya akan membuat Belanda diuntungkan dengan bantuan dari pasukan Sekutu, yang bermarkas di Samudra Pasifik. Apalagi jalan diplomatik pun mentok di PBB.

Sukarno mengharapkan efek domino dari sukses pejuang Aljazair memukul Prancis di negerinya. Merdekanya Aljazair akan menambah daftar negara yang mendukung perjuangan melawan kolonialisme. “Di sini beratnya perjuangan melawan kolonialisme,” kata Sukarno. “Yang mau kita serang adalah Belanda di Irian Barat, tapi kita juga harus menggempur benteng-benteng mereka di semua tempat.”

Atas jasa-jasanya itu, tak mengherankan bila nama Sukarno begitu beken di Aljazair, belahan utara Afrika. Begitu juga di negara-negara Timur Tengah. Cuma, di sana nama Sukarno lebih populer dengan sebutan Ahmed Zukarna. Adalah Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang mengenalkan Sukarno sebagai Ahmad Sukarno atau yang dilafalkan dengan lidah lokal jadi Ahmed Zukarna.


(sumber)


Mengenang Bung Karno (2)

foto : ilustrasi
Taktik Barter Sukarno Melawan CIA

Sukarno tergopoh- gopoh keluar dari kamarnya. Pagi itu perutnya melilit dan terburu-buru hendak masuk toilet Istana.

Sesaat sebelum masuk, ia menunjuk ke arah tumpukan koran, yang setiap pagi ditaruh di muka kamarnya. “Heh, ayo cepat, itu koran semua aku mau baca di kakus,” kata Sukarno.

Namun orang yang dimintai tolong malah menyandera harian Suluh Indonesia, corong Partai Nasional Indonesia. “Apa benar ini berita Bapak menukar Pope dengan jalan bypass?” tanya Guntur Soekarno.

Pope yang dimaksud adalah Allen Lawrence Pope, pilot asal Amerika Serikat yang pesawatnya, B-26 Invader, ditembak jatuh TNI di Maluku pada 1958. Saat itu Pope, yang pensiunan militer Amerika, tengah menjalani misi pengeboman CIA buat menyokong pemberontakan Perdjuangan Rakjat Semesta alias Permesta.

Pope awalnya disebut Amerika sebagai tentara bayaran. Nahas bagi Pope. Saat dibekuk, dia membawa banyak dokumen yang mengindikasikan dia memang bekerja buat CIA lewat Civil Air Transport, maskapai yang dipakai dinas rahasia Amerika itu buat operasinya di Timur Jauh.

Pope setidaknya 12 kali membombardir lapangan udara TNI dan pelabuhan sipil di Maluku dan Sulawesi. Pria asal Miami itu hanya mengakui dua misi penerbangan saja, tapi pengadilan Indonesia pada 1960 memvonisnya hukuman mati.

Pada 1961, Presiden Dwight D. Eisenhower diganti John F. Kennedy. Gaya politik luar negeri Amerika pun berubah dan lebih bersahabat terhadap Indonesia.

Sukarno, yang sebelumnya akan digergaji kursi presidennya, malah diundang ke Gedung Putih. Diduga saat itulah masalah Pope dibahas.

Setahun setelah pertemuan itu, Pope diam-diam diantar pesawat Negeri Abang Sam di bandara Jakarta. Sebelum dia dipulangkan, Sukarno berpesan, ”Jangan muncul ke publik, jangan membuat cerita aneh-aneh. Pulang dan menghilanglah dan kami akan melupakan semuanya,” ujarnya seperti ditulis dalam buku Subversion as Foreign Policy The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia.

Pemulangan Pope itu tidaklah gratis. Kennedy mesti membarternya dengan pesawat angkut Hercules dan dana pembangunan jalan bypass dari Cawang ke Tanjung Priok.

Lain lagi cerita Bambang Avianto, putra sulung Marsekal Pertama Joko Nurtanio. Anak penggagas industri penerbangan Indonesia itu menunjuk pada bangkai helikopter Bell-47 J2A Roger, yang 30 tahun teronggok di ujung landas pacu Husein Sastranegara.

Bambang mengatakan helikopter kepresidenan era Sukarno itu merupakan hadiah Presiden Kennedy. Helikopter berjulukan si Walet itu status resminya hadiah, tapi sejatinya bagian dari barter dengan Pope. “Itulah salah satu kelebihan diplomasi Bung Karno,” ujarnya.

Kennedy memang ingin menjauhkan Sukarno dari Cina dan Uni Soviet. Taktik yang dipakai adalah memberi bantuan nonmiliter.

Namun bernarkah Sukarno menukar Pope dengan pesawat dan sejumlah proyek pembangunan? Ketika Guntur Soekarno mendesak soal itu, ayahnya cuma tertawa.

Usai urusannya di toilet istana pada 1960-an itu, Sukarno cuma berujar, “Mudah-mudahan Amerika kirim Pope yang lain. Kalau tertangkap nanti, aku minta tukar dengan Ava Gardner dan Yvonne de Carlo!”


(sumber)


 Mengenang Bung Karno (3)

foto : ilustrasi
Inspeksi Tari Perut di Mesir                                          

Letnan Kolonel Sabur mengetuk pintu kamar hotel Presiden Sukarno di Kairo, Mesir. Belum juga pintu terbuka setengah, ajudan presiden itu langsung kena semprot. 
Hei, Bur, ada apa malam-malam begini!” hardik Bung Karno. “Aku kan sudah bilang aku mau istirahat!”
Sukarno memang malam itu baru tiba di Kairo. Karena tak ada acara, ia memilih langsung tidur agar esok tampil segar saat bertemu dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser.

Tergagap, Sabur menyampaikan bahwa Nasser mengirim utusan. Kemarahan Sukarno mereda dan dia meminta Marsekal Abdul Hakim Amir itu masuk ke kamarnya.

Mengenakan kaus oblong dan celana piyama, Sukarno menerima Marsekal Amir. “Presiden Nasser mengutus saya menjemput Paduka Yang Mulia untuk inspeksi,” kata Amir.

Sukarno langsung memotong Amir dan minta agar disampaikan kepada Nasser bahwa ia terlalu lelah buat inspeksi pasukan ataupun persenjataan Mesir di larut malam. Tapi Amir terus meminta Sukarno ikut dengannya.

“Begini, presiden kami mengundang sahabat beliau, Presiden Indonesia, untuk menginspeksi penari-penari perut di Kairo ini." Mendengar itu, Sukarno mendadak sontak bersemangat.

“Kenapa tidak bilang dari tadi!” kata Sukarno. “Sampaikan kepada saudaraku, Nasser, Sukarno dari Indonesia akan siap dalam sepuluh menit!”

Inspeksi penari perut yang diceritakan ulang oleh Guntur Soekarno ini hanya salah satu agenda tak resmi Bung Karno bersama pemimpin negara sahabat. Dalam buku Bung Karno, Bapakku, Kawanku, dan Guruku, Guntur bercerita Sukarno di sela-sela pertemuan Gerakan Nonblok pernah diajak menonton kabaret oleh Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.

“Wah, Bapak senangnya bukan main diajak Pak Tito nonton kabaret yang pamer paha,” tulis Guntur. “Waktu Pak Tito ke Indonesia dibalas dengan mengajak nonton tari Bali yang megal-megol mengasyikkan.”

Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, melihat undangan menonton tari perut dan kabaret itu menunjukkan Sukarno memang akrab betul dengan pemimpin negara lain. “Sukarno bisa akrab karena dia sendiri memang supel,” kata Asvi.

Namun keakraban itu bukan sekadar hura-hura karena, Asvi melihat, Sukarno memanfaatkan itu buat mengegolkan kepentingan Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya. Kedekatan itu, kata Asvi, membantu memuluskan misi diplomatiknya mendirikan Gerakan Nonblok demi menandingi Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet.

Tak cuma dengan kawan, Sukarno juga bisa berkarib dengan lawan. Asvi mencontohkan Sukarno, yang meski kerap diganjal Amerika Serikat, bisa melenggang dan berbincang hangat dengan Presiden John F. Kennedy.

Meski banyak mengkritik Amerika, kata Asvi, Sukarno datang ke sana karena perlu dukungan Amerika buat menekan Belanda keluar dari Papua. “Dia berprinsip hubungan antarnegara kan tidak melulu bertengkar meskipun Indonesia sering mengkritik Amerika,” kata Asvi.



(sumber)


 Mengenang Bung Karno (4)

foto : ilustrasi
Musuh Amerika Itu Kepincut Sukarno
 
Hendri Saragih tak menyangka pembesar yang ditemuinya bakal menyapa hangat. Semua itu terjadi karena Koordinator Organisasi Petani Sedunia itu mengatakan kepada Presiden Venezuela Hugo Chavez bahwa ia dari Indonesia.

Chavez meraih bahu Hendri dan mengguncang-guncangnya. “Oh, Bandung, Bandung, Bandung,” katanya seperti ditirukan Hendri.

Chavez lantas menjelaskan, ia teringat akan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Ia juga menyatakan mengagumi penggagas konferensi itu, Presiden Sukarno.

Kebijakan nasionalisme perusahaan asing oleh Sukarno, kata Hendri, juga dijadikan contoh oleh Chavez. Nasionalisme perusahaan itu pula yang membuat Chavez dimusuhi Amerika Serikat, yang beberapa perusahaannya dicaplok Venezuela.

Pesona Sukarno memang menyihir Amerika Latin, terutama setelah ia mengunjungi Fidel Castro dan sekondannya, Ernesto “Che” Guevara, di Havana pada 1960. Kunjungan itu pada 2008 diabadikan di Kuba dalam prangko, yang menampilkan foto pertemuan tersebut.

Prangko itu hanyalah satu dari banyak jejak sepak terjang Sukarno di dunia, yang hingga kini masih terserak di banyak negara. Filipina, misalnya, punya prangko bergambar Sukarno.

Mesir juga menamai satu ruas jalannya Ahmed Soekarno. Adapun di ibu kota Maroko, Rabat, ada Jalan Rue Soekarno. Di Arab Saudi, ada pohon mimba, yang di sana dijuluki Syajarah Sukarno atau Pohon Sukarno.

Sekadar menyebut Indonesia saja, penduduk di beberapa negara Afrika dan Asia spontan menyahut, “Sukarno.” Backpacker Agustinus Wibowo mengingat pengalaman itu saat berusaha masuk Afganistan lewat Pakistan.

"Orang-orang di sana, terutama dari generasi tua, tahu Bung Karno yang pernah pidato di sana,” kata Agustinus. Ia juga menemukan Soekarno Square di daerah Peshawar dan Soekarno Bazar di Lahore.

Peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan Sukarno dikenang banyak negara karena piawai membina hubungan baik. “Dia secara konsisten membantu negara-negara itu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan mereka,” ujarnya.


(sumber)


Mengenang Bung Karno (5)

foto : ilustrasi
Melirik Istri Raja Kamboja hingga Marilyn Monroe
 

Api cemburu membakar hati Yurike Sanger saat terbaring di salah satu kamar Rumah Sakit Jang Seng Le (sekarang Sarihusada) pada suatu hari pada 1965. Setelah menjalani operasi terkait dengan kehamilannya yang tak normal, sang suami hanya membesuknya sekelebat. Dalihnya, kesibukan tugas negara yang mustahil dikesampingkan.

Sang suami tak lain adalah Bung Karno. Ia, yang belum genap 20 tahun, menjadi perempuan kedelapan yang dinikahi si Bung, sekaligus dijanjikan bakal menjadi istrinya yang terakhir. Sebagai presiden, suaminya memang baru saja menunaikan tugas kenegaraan ke Eropa. Tapi juga menyalurkan hasrat kelelakiannya, yang amat mengagumi wanita cantik.

Buktinya, seorang dokter muda nan tampan menyodorkan majalah yang di sampul mukanya menampilkan Bung Karno sedang bermesraan dengan bintang film Italia, Gina Lollobrigida, saat berkunjung ke Roma.

Api cemburu ia tumpahkan begitu Bung Karno kembali datang membesuk. “Saya marah kepada Bapak dan membanting tumpukan majalah tadi,” tuturnya dalam buku Cinta dan Hati Istri-istri Sukarno karya Reny Nuryanti dan kawan-kawan.

Selain dengan Gina, kebersamaan dengan aktris Hollywood, Marilyn Monroe, merupakan kabar yang paling luas diberitakan media internasional beberapa tahun sebelumnya. Menurut penuturan Iwan Satyanegara Kamah di Koran Tempo edisi Minggu, 3 Juni 2001, perjumpaan Sukarno dan Marilyn terwujud berkat jasa Joshua Logan, sutradara film Bus Stop. Seusai syuting, Logan mengajak Marilyn menghadiri pesta penyambutan Bung Karno. "Saya ingin kau datang menemui sahabat saya nanti malam," kata Logan.

Setelah berbincang hangat selama 45 menit, kepada Marilyn, yang mengenakan gaun hitam, Bung Karno berucap, "Anda seorang yang sangat penting dan sangat terkenal di Indonesia."

Tak cuma para aktris film dunia, Bung Karno pun dikabarkan sempat tergoda oleh kecantikan Putri Monique, istri bekas Raja Kamboja Norodom Sihanouk, yang berasal dari Prancis. Sihanouk mengungkapkan hal itu dalam buku Norodom Sihanouk: Pemimpin Dunia yang Saya Kenal yang diterbitkan Gaffiti Press, 1991.

"Monique, tanpa sadar, telah mempesona Sukarno dan menimbulkan api di hatinya yang mudah terbakar," tulis Sihanouk. Toh, dia masih menganggap Bung Karno sebagai laki-laki sopan yang sempurna karena tak pernah berusaha menaklukkan satu pun wanita Kamboja "secara nyata" betapapun cantiknya.

(sumber


 Mengenang Bung Karno (6)

foto : ilustrasi

Aneka Hadiah untuk Para Istri 

Sekitar dua bulan pascakejadian Gerakan 30 September 1965, Bung Karno yang letih fisik dan mental justru meminta Heldy Djafar, perempuan kesembilan yang dinikahinya, berlibur ke luar negeri. Rupanya ia merasa tak enak hati melihat sang istri harus turut menanggung beban politik yang tengah dihadapinya.

"Pergilah engkau liburan ke Hong Kong dan ke Jepang bersama kakak-kakakmu. Nanti semua akan diatur oleh kedutaan di negara masing-masing," tutur Bung Karno seperti diungkap dalam buku Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno karya Ully Hermono dan Peter Kasenda. Kepada kedua penulis, Heldy mengaku melakukan perjalanan dengan layanan serba istimewa, layaknya tamu negara.

Di kesempatan lain, Heldy menerima uang untuk membeli mobil yang disukainya, berhelai-helai kain batik, parfum, dan berbagai benda berharga lainnya.

Lain lagi kepada Haryatie. Kepada mantan penari Istana itu, Bung Karno pernah sengaja mengajaknya berbelanja di sela kunjungan kenegaraan ke Italia. Saat berada di sebuah toko di Roma, Haryatie ditawari memilih jam tangan warna hitam atau merah.

*Senajan karo-karone kok senengi, aku ya seneng wae (meski kamu mau dua-duanya, ya saya senang saja),” ucap Bung Karno seperti ditulis Reny Nuryanti dalam Cinta dan Hati Istri-istri Bung Karno.

Tak cuma itu. Haryatie, yang telah ditempatkan di sebuah rumah di Jalan Madiun, Menteng, Jakarta Pusat, masih dibuatkan rumah di kawasan Slipi, Jakarta Pusat. Rumah sengaja dibangun di dekat daerah persawahan. “Kangmas remen sing cedak sawah (Mas senang yang dekat sawah),” ujar si Bung.

Lantas dari mana Bung Karno membiayai dan memberikan hadiah-hadiah kepada para istrinya? Kepada Haryatie, si Bung mengaku memperolehnya dari royalti otobiografinya, Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, yang terbit di New York pada 1965.

Meski kerap memberi hadiah, budayawan Sujiwo Tejo menilai, daya tarik utama Bung Karno tetap pada pesona dan karismanya. Materi bukan hal pokok bagi Bung Karno dalam menaklukkan setiap perempuan.

Hal itu berbeda dengan lelaki lain sekelas Presiden Prancis Nicolas Sarkozy atau lelaki yang saat ini tengah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan dikabarkan menjalin hubungan dengan puluhan perempuan. “Kalau saya menduga, dia hanya mengandalkan uang, uang, dan uangnya, karena tidak ada sisi romantis yang ditonjolkan. Beda banget dengan Bung Karno,” kata Sujiwo.

(sumber


Mengenang Bung Karno (7)

foto : ilustrasi

Karma Istri-istri Sukarno


Andai ajal tak menjemput, bagi Bung Karno, seolah tak pernah ada wanita terakhir untuk diperistri.

Di hadapan wanita sepuh itu, Fatmawati Sukarno bersimpuh. Sambil berurai air mata, dia bersujud menciumi kedua kakinya. Dengan terbata-bata, Fatmawati meminta maaf karena telah menjalin tali kasih dan menikah dengan Sukarno. “Indung mah lautan hampura (seorang ibu adalah lautan maaf),” si perempuan sepuh itu membalas sambil memeluk dan mengelus kepala Fatmawati.

Hanya, ke depan, dia melanjutkan, jangan mencubit orang lain kalau tak ingin dicubit, karena dicubit itu rasanya sakit.

Si perempuan sepuh itu tak lain adalah Inggit Garnasih. Dia perempuan kedua, setelah Oetari Tjokroaminoto, yang dinikahi Bung Karno. Istri yang cuma bisa memberi tanpa mau meminta kepada suaminya.

Sayang, setelah 20 tahun berumah tangga, bahkan dengan setia nunut Bung Karno hingga ke Ende dan Bengkulu, Inggit harus rela berpisah. Karena si Bung terpikat pada Fatmawati, yang pernah ikut mondok dalam rumah tangga mereka saat di Bengkulu.

Kehendak Fatmawati menemui Inggit di Jalan Ciateul Nomor 8, Bandung, seperti tertulis dalam buku Fatmawati Sukarno: The First Lady karya Arifin Suryo Nugroho, terwujud berkat bujuk rayu mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Ali menemui Inggit pada 7 Februari 1980 untuk menjajaki kemungkinan menerima kehadiran Fatmawati, yang telah 38 tahun tak lagi berkomunikasi.

Bagi Fatmawati, kehendaknya menemui mantan ibu angkatnya itu seolah menjadi penyuci diri. Sebab, pada 14 Mei 1980, Fatmawati berpulang setelah menunaikan umrah.
Kehadiran anak kandung sangat diidamkan Bung Karno, dan Fatmawati memberinya lima putra-putri. Tapi kebahagiaannya sebagai pendamping Bung Karno harus terkoyak pada tahun ke-12. Sebab, belum genap dua hari ia melahirkan Guruh, Sukarno mendekat sambil berkata lirih, “Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini.”

Tak terbayangkan betapa sakitnya hati Fatmawati kala itu. Tapi bisa jadi itulah karma yang harus diterimanya setelah Bung Karno terpaksa menceraikan Inggit, yang tak memberinya keturunan.

Kepada Tempo edisi 22 september 1999, Hartini menepis tudingan publik bahwa dirinya telah merebut Bung Karno dari Fatmawati. Untuk bersedia menerima pinangan Bung Karno yang bertubi-tubi, dia harus membayarnya dengan amat mahal. Sebab, hampir semua media dan aktivis perempuan kala itu menyudutkan dirinya, dan lebih membela Fatmawati.

“Benar, sudah ada Ibu Fatmawati, sang first lady, ketika saya menikah dengan Bung Karno. Tapi, setelah saya, juga ada Dewi,” ujar Hartini. Dan, kalau dirinya dikatakan merebut Bung Karno dari Ibu Fat, ia melanjutkan, bukankah Ibu Fat juga merebut Bung Karno dari Ibu Inggit, dan Ibu Inggit merebutnya dari Ibu Tari (Oetari)?

Lalu, setelah Dewi, bukankah masih ada lagi Haryatie, Yurike, dan belum pacar-pacar yang lain? Jadi semuanya sama. Yang membedakan, hanya ada satu first lady. “Saya tidak merebut Bung Karno. Saya menjalani takdir yang digariskan hidup,” Hartini menegaskan.

Total, Bung Karno sembilan kali resmi menikah. Andai ajal tak menjemput, bagi si Bung, seolah tak pernah ada wanita terakhir untuk diperistri. Seorang wanita yang dilimpahi aliran cinta yang bergelora harus tabah menyaksikan padamnya api asmara tatkala Sukarno terpikat pada wanita lain. 

(sumber)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar